Bagi penikmat steak,
nama Obong Steak bukan sesuatu yang baru. Gerainya mudah di temui di beberapa
wilayah Jakarta dan beberapa puluh gerai Obong Steak lainnya di beberapa daerah
di Indonesia. Boleh dibilang, eksistensi Obong Steak cukup berkibar di bisnis
kuliner negeri ini. Semua itu tak lepas dari kepiawaian dan sentuhan Sugondo
Djoyohadikusumo, yang dulu sempat
berkibar di jagad entertain, khususunya di Kota Sola, Jawa Tengah.
Sugondo bersyukur di
ujung usianya ia masih punya kesempatan menata diri. Sebab masih banyak teman teamnnya yang tenggelam dalam racun jahanam narkoba.
Padahal sudah banyak diantara mereka yang mati, atau ginjalnya rusak dan stroke. Padahal, kalau mau sadar itu pasti diberi pengampunan, diberi jalan dan petunjuk yang seluas-luasnya. Apa yang kita inginkan itu baik, pasti diberi asal
keinginan itu kuat, kataya.
Lalu apakah Sugondo sangat
menyesali masa lalunya itu? “Saya nggak menyesali kenapa kok sampai seperti
ini. Mungkin sudah takdir saya harus jadi orang jelek dulu, bukan jadi orang baik sejak dulu. Ini memang sudah jalannya. Kalau saya tidak usaha diskotik, saya kan tidak ketemu penggusaha restoran itu. Kalau saya tidak ketemu pengusaha itu
saya tidak akan mendirikan Obong Steak. Kalau tidak bikin
Obong Steak mungkin saya tidak sadar. Kalau tidak dipenjara, mungkin saja saya
tak dapat hidayah,” jelasnya penuh kemantapan.
Menurut Sugondo, shalat itu ibadah yang paling pokok Makanya disebut tiang agama. Jadi kalau kita shalat kualitasnya asal asalan, apa bisa jadi tiang agama? “Kalau kata Ustadz Abu shalat itu adalah shilatun
(hubungan), Sebenarnya
kalau kita terima dengan ikhlas,
ibadah itu nggak ada yang sulit kok. Asal pikirannya tenang, bersih hati, mau
menghadap Allah ya sudah tinggal dipegang. Tapi kalau hati dan pikiran kita
kemana-mana, pasti Allah nggak mau
dengar.”papar
penikmat kuliner daerah ini.
Menurut Sugondo, dalam shalat yang sehari lima kali itu kalau
khusyu’ nya hanya mencapi 70% itu suatu
hal yang manusiawi.
Tapi kalau cuma 10-20 % saja itu sudah nggak bener. Tidak ada perkembangan namanya. Kadang khusyu’ 90%. Tapi adakalanya cuma 60% karena banyak urusan. Mungkin
karena mikirin utang-piutang atau apa, Makanya kalau kita baca Al Fatihah di awal khusyu’,
ditengah tidak khusyu’, terus diakhir khusyu’ lagi, ya terima
saja. Tidak harus diulang
baca Al Fatihah lagi kan?” tandas bapak
kelahiran 31 Maret 1950 ini. .lengkapnya Dapatkan majalahnya di agen sirkulasi kami di kota anda atau toko buku Gramedia dan Gunung Agung)
Atau berlangganan langsung disini
Atau berlangganan langsung disini
Posting Komentar