Alkhusyu - Ru’yah
Shodiqoh merupakan bagian dari kenabian. Sebagaimana pernyataan Nabi SAW:
“Ru’yah shodiqoh adalah bagian (juz) dari empat puluh enam bagian dari
kenabian”.
Sesungguhnya
permulaan wahyu (yang turun kepada Nabi Muhammad) itu dimulai dari Ru’yah
shodiqoh (mimpi yang benar). Ini terjadi selama setengah tahun. Kemudian
beralih kepada wahyu dalam keadaan terjaga selama 23 tahun. Dimulai dari awal
kebangkitan diutus sebagai Nabi sampai meninggal.
Mimpi
merupakan permulaan wahyu. Kebenarannya, bergantung pada kejujuran orang yang
bermimpi. Orang yang paling benar mimpinya ialah orang yang paling jujur
bicaranya. Pada akhir zaman dan jauh dari masa Nabi, mimpi menjadi semacam
petunjuk bagi orang Mukmin.
Sebagaimana sabda Nabi SWA: “Demikian ini karena jauhnya masa dan
pengaruh kenabian”.
Sedangkan
pada masa masih kuatnya cahaya kenabian, maka petunjuk melalui mimpi, bagi
orang Mukmin, tidak butuhkan.
Menurut Imam
Ahmad, perbandingan karomah (melalui mimpi) yang muncul setelah masa sahabat,
dan tidak muncul pada masa sahabat, karena pada zaman sahabat, imannya masih
kuat sehingga tidak membutuhkan lagi petunjuk-petunjuk mimpi. Sementara, ummat
belakangan sangat memerlukan petunjuk mimpi karena iman mereka sangat lemah.
Ubadah bin Shomid
berkata: “Mimpinya orang mukmin itu, merupakan Kalam Tuhan yang disampaikan
kepada hamba-Nya melalui mimpi.” Nabi SAW bersabda: “Tidak ada kenabian
(setelah aku) kecuali mubash-sharoot”. Sahabat bertanya: “Apakah
mubash-sharoot itu?” Beliau menjawab: “Mimpi yang baik yang diperlihatkan
kepada seorang Mukmin”.
Jika mimpi
itu terjadi kepada orang Muslim, itu bukan kebohongan. Nabi bersabda kepada
sahabatnya ketika mereka bermimpi tentang terjadinya lailatul qadar pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Nabi mengatakan: “Aku juga bermimpi
seperti yang kamu liat bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Maka, barangsiapa yang mencari lailatul qadar maka carilah pada
sepuuh hari terakhir itu”.
Mimpi itu
juga seperti kasyaf (ketersingkapan), ada yang berasal dari Allah, dan yang
muncul dari gejolak hatinya dan ada yang dari syaitan. Nabi SAW bersabda:
“Mimpi itu ada tiga macam. Mimpi dari Allah, mimpi yang menyedihkan dari
syaitan, dan mimpi dari hasil bisikan jiwa ketika dalam keadaan terjaga
kemudian nampak dalam mimpi”.
Adapun mimpi
yang menjadi sebab-sebab hidayah adalah khusus mimpi yang datangnya dari Allah.
Mimpi para nabi adalah wahyu karena mereka terjaga dari syaitan. Ini merupakan
kesepakatan ummat. Karena itulah, Ibrahim Kholilullah rela mempersembahkan
anaknya, Ismail AS, untuk disembelih setelah memperoleh wahyu melalui mimpi.
Sedangkan
mimpi selain dari para nabi, harus dipertimbangkan dengan wahyu yang shohih.
Jika cocok, ya, diamalkan. Jika tidak cocok dengan wahyu, ditinggalkan.
Barangsiapa
yang menghendaki mimpinya itu benar, maka berusahalah jujur dan makan yang
halal, menjaga perintah dan larangan, selalu menyempurnakan kesucian yang
sempurna dengan menghadap kiblat dan berdzikir kepada Allah sehingga masuk
sampai tidur. Maka mimpinya hampir-hampir tidak bohong.
Mimpi yang
benar adalah mimpi di waktu sahur. Karena pada waktu itu lah masa turunnya
Ilahi dan dekat dengan turunnya rahmat dan pengampunan serta masa diamnya
syaitan. Sebaliknya, mimpi waktu sore itu adalah waktu syaitan dan ruh-ruh
syaitan bergentayangan.
Menurut Imam
Malik, mimpi dari wahyu itu, ya wahyu dan melarang menafsirkan dengan tanpa
menggunakan ilmu. Dan dia berkata, “Apakah kamu bermain-main dengan wahyu
Allah?”
Untuk membicarakan tentang mimpi, hukum-hukumnya, rinciannya dan jalan
takwilnya, itu hanya dugaan-dugaan khusus yang bisa mengeluarkan kita dari
maksud yang sebenarnya. Wallahu ‘alam. (Sumber: Madaaridjus Salikin)
Posting Komentar