Alkhusyu - Satu hal
penting dalam pembahasan shalat adalah fikih. Karena fikih sebagai kompilasi
hukum Islam di dalamnya memuat aturan-aturan, tata cara dan prosedur
penyelenggraan ibadah, termasuk penyelenggaraan ibadah shalat.
Sholat dalam
fiqih adalah rangkaian gerak gerik yang kita mulai dengan niat, takbiratul
ihram, dan lalu diakhiri dengan salam, diawali dengan “Allahu akbar” yang
diahiri dengan ucapan “assalamu alaikum”. Artinya kita tidak akan dapat
melakukan sholat tanpa melakukan tahap serta syarat dalam fiqihiyah tersebut.
Akan tetapi
rutinitas sholat fiqiyah tersebut hanya menonjolkan sisi fisik dari penyembahan
terhadap Tuhan, serta kecendrungan yang muncul adalah shalat hanya dimaknai
sebagai sebuah kewajiban hamba terhadap Tuhannya, sehingga sholat hanya
rutinitas yang menjemukan bagi umat manusia.
Kalau
diperhatikan dari maknanya “fiqh” berasal dari bahasa Arab “fiqhun”, berarti
pemahaman yang mendalam atas tujuan gerakan (perbuatan) dan perkataan. Makna
ini diambil dari pengertian kata Fiqh dalam Al qur’an.
Famali haa
ulaai al qaumi yakaduna yafqahuna hadiitsa ……
…..maka
mengapa orang-orang itu (kaum munafiq) hampir-hampir tidak memahami (yafqahuna)
pembicaraan sedikitpun ( QS, An Nisa, ’: 78)
…..mereka
memilki hati, akan tetapi tidak dapat memahami (QS, Al A’raf [7] : 179 )
waman
yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fi addin …..
…..barangsiapa
yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Allah pahamkan dalam beragama.
Fiqh shalat
secara khusus memiliki kelengkapan makna dan pemahaman yang terkandung dalam
setiap gerakan dan ucapan yang disyariatkan oleh Allah Swt. Sehingga setiap
gerakan seperti takbir, rukuk, sujud, iftirasy, tahiyyat dan salam tidak hanya
sekedar bergerak. Akan tetapi merupakan sebuah simbol-simbol gerak rasa
kepatuhan dan kecintaan hati seorang hamba kepada tuhannya. Itu sebabnya
mengapa Rasulullah menyuruh umatnya shalat dengan gerakan yang tumakninah, dan
tidak dilakukan dengan terburu-buru. Karena setiap gerakan dalam setiap rakaat
mempunyai faidah yang berpengaruh terhadap tubuhnya. Pada saat berdiri
tumakninah maupun rukuk dan sujud dengan tumakninah, tulang-tulang maupun otot
akan merasakan istirahat. Demikian juga setiap bacaan yang diucapkan akan
memberikan pengaruh kepada perubahan jiwa bagi yang shalat dengan merendahkan
hatinya. Karena setiap berdoa, berarti berhubungan dengan Yang Maha
Menciptakan.
Rasulullah
menuntun tata cara shalat secara khusus dan bersifat mahdhah. Yaitu suatu
syariat yang bersifat baku dan tidak boleh ada seorangpun yang merubah tatanan
shalat ini. Dasar ini mengacu kepada sabda Rasulullah “shallu kama raitumuni
ushalli, shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku shalat”.
Tuntunan
praktis yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat ini, disampaikan
turun-temurun sampai kepada umat Islam sekarang. Walaupun ada perbedaan sedikit
masalah furu’ (cabang-cabang) tetapi tidak merubah rukun ketetapan prinsip
syar’i. Hal ini hanya disebabkan karena perbedaan dalam memahami peristiwa yang
dilakukan Nabi dalam menjalankan ibadah shalat yang memang menyesuaikan kondisi
jamaah pada waktu itu.
Banyak
hadist Rasulullah yang menceritakan bahwa beliau selalu mengkontrol gerakan
shalat dan kekhusyu’an para sahabat ketika melakukan shalat. Ketika diantara
ada jamaah yang salah melakukan ruku’ atau sujud. Beliau langsung menegur dan
membetulkan shalatnya, lalu jamaah yang lainnya mengikutinya. Namun berita-berita
pengajaran Nabi kepada jamaah tidak selalu lengkap yang kita peroleh dari ahli
fiqh. Karena dalam setiap pengajaran dan praktek yang dilakukan oleh nabi
kepada para sahabat berbeda-beda.
Terkadang
nabi shalat gerakannya agak dipercepat ketika menghadapi jamaah yang sepuh. Dan
terkadang pula Nabi shalat membutuhkan waktu yang lama, sehingga pernah
dikeluhkan oleh sahabat yang mengikuti berjamaah dengan Beliau. Dengan adanya
perbedaan kondisi dan situasi yang dibawakan oleh Nabi, menyebabkan seolah-olah
shalat yang dilakukan diberbagai negara Islam itu berbeda-beda. Karena
kebanyakan umat mengira shalat nabi hanya melakukan satu gaya saja. Sehingga
ketika ada seorang dari mazhab yang lainnya melaksanakan shalat yang berbeda,
dianggap bid’ah dan sesat. Hal inilah yang menyebabkan perdebatan pada kalangan
masyarakat, karena ketidaktahuan proses sejarah rilwayah dan dirayah hadist
maupun mustahul hadist.
Sahabat Nabi memperoleh kedudukan
sangat penting dalam fikih.
Pertama,
sebagai ahli hadits karena mereka adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah SAW
dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Karena itu, dari mereka pula kita
mewarisi ikhtilaf (perbedaan) di kalangan kaum Muslim.
Kedua, era
sahabat juga dikenal sebagai masa berakhirnya masa tasyri’. Inilah embrio ilmu
fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri’ orang memverifikasi pemahaman
agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
maka pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri mereka sendiri. Sementara itu,
perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban
lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini
dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka.
Ketika
menceritakan ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: Di antara sahabat
ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak
melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra’yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra’yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti
Abdullah bin Mas’ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila
tidak ada nash.
Dengan
demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum dalam mengambil
keputusan hukum (istinbath; al-hukm); yang nanti diformulasikan dalam
kaidah-kaidah ushul fiqh.
Ketiga,
ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka
menjadi sunnah yang diikuti. Al-Syathibi menulis, “Sunnah sahabat r.a. adalah
sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan”. Dalam perkembangan ilmu
fiqh, madzhab sahabat – sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para
sahabat – akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan,
qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya.
Madzhab sahabat pun menjadi hujjah.
Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggapnya sebagai hujjah
mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian
lainnya hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits “berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan
Umar”; dan sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah
kesepakatan khulafa’ al-Rasyidin.
Karena
posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat
menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu
saja, menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling
penting adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat mereka dapat
membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan
kemusykilan yang sulit diatasi.
Fiqh para
sahabat (khulafa rasyidin) adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh
Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan
terhadap syari’ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf
di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga
– seperti kata ‘Umar ibn Abdul Aziz – menyumbangkan khazanah yang kaya untuk
memperluas pemikiran.
Setelah Nabi
Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam
urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka, dan
mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali
memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati hatian, atau lagi-lagi
pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena
pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.
Menarik
untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit
sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya
142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua
hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits). Itu
karena para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah
murid al-Khulafa al-Rasyidin.
Abu Sangkan
Posting Komentar