Al khusyu- Surat Al
Baqarah diawali dengan kalimat mutasyabihat “alim lam miim”, kemudian
menjelaskan bahwa Al Qur’an adalah kitab penuh kebenaran dan tidak ada keraguan
didalamnya bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan yang gaib,
sebagaimana firman Allah:
Alif lam
miim. Kitab (Al qur’an) tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang
bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang GAIB, melaksanakan SHALAT, dan
menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang
beriman kepada (Al Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab
yang diturunkan sebelum engkau,dan mereka yakin akan adanya akhirat. (QS, Al Baqarah [2]:1-4)
Istilah
“GAIB”, oleh masyarakat sering dikaitkan dengan makhluk gaib atau ilmu gaib
(mistik) dunia lain yang menyeramkan. Karena memang kata gaib mempunyai arti
tidak kasat mata, maya, tidak terlihat, seperti jin, malaikat, syurga, neraka,
dan hari kiamat. Sebagian masyarakat ada yang menolak ketika membicarakan
persoalan gaib karena alasan tidak masuk akal. Hal ini berawal para ahli ilmu
modern, mendasari setiap penelitian harus bersifat empiris. Sehingga sesuatu
yang tidak bisa difahami oleh indrianya akan ditolak dan dikatakan tidak
termasuk kajian ilmiah. Dasar ilmu empirisme ini berakibat kepada masyarakat
modern menjadi alergi terhadap dunia gaib, dalam hal ini berujung ketidak
percayaan terhadap adanya Allah, syurga, neraka yang bersifat gaib. Karena
dianggap keberadaan Allah dan seluruh ciptaan Allah yang gaib dianggap tidak
ilmiah dan tidak masuk akal. Itu sebabnya mengapa akhirnya banyak orang
meninggalkan agama, dan bahkan menetapkan diri sebagai golongan atheis (tidak
percaya adanya Tuhan). Padahal agama banyak menceritakan persoalan yang tidak
kasat mata (gaib), baik yang bersifat materi maupun inmateri seperti perasaan
dan cinta.
Kepercayaan
kepada yang gaib justru dalam Islam sangat ditekankan, karena membicarakan
kesadaran tentang asal usul kejadian manusia maupun alam semesta. Disamping
itu, memberikan kesadaran akan tujuan hidup manusia didunia maupun diakhirat
kelak. Kesadaran ini tidak mungkin bisa difahami, apabila hanya mendasari
pengetahuannya dengan mazhab empirisme yang serba materi. Mengapa konsep
keimanan sangat penting untuk memulai kesadaran berketuhanan. Sehingga Islam
menempatkan Iman sebagai landasan kepercayan atau kesadaran awal dari kehidupan
beragama. Maka dari itu pembahasan masalah ketuhanan tidak terlepas dari iman
kepada yang gaib, seperti iman kepada Allah (Yang Maha gaib), iman kepada
Malaikat, iman kepada kitab-kitab suci, iman kepada hari akhir, iman kepada
para nabi, iman kepada ketetapan baik dan buruk dari Allah SWT.
Keimanan ini
termasuk sebuah kesadaran yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang hidup.
Karena kesadaran merupakan sebuah ruangan tersendiri dari aspek kejiwaan
manusia. Karena dengan kesadaran, manusia akan mengerti akan diri yang sejati
atas keberadaannya.
Kesadaran
bagi orang-orang materialisme, merupakan bentuk kesadaran pada taraf kesadaran
seperti orang bangun tidur atau dari pingsan. Akan tetapi ada tingkat kesadaran
pada tatanan mental, yaitu kesadaran yang berkaitan dengan tingkat
intelektualitas dan kualitas kesadaran. Ada perbedaan yang sangat tajam antara
kedua tingkat kesadaran tersebut. Kesadaran bagi yang sudah sadar dari tidur
dan tidak pingsan belum tentu memiliki kualitas kesadaran. Orang gila misalnya,
ia memiliki tingkat kesadaran pertama. Akan tetapi ia tidak menyadari akan
dirinya, terkadang ia mengaku raja Jawa dan berperilaku layaknya seorang raja,
padahal dia hanyalah seorang tukang batu. Mungkin sebagian manusia berada pada
tingkat kesadaran primitif, tidak menyadari bahwa bumi yang ditempati sedang
berputar dengan kecepatan tinggi, bahkan melebihi kecepatan peluru yang
ditembakkan. Kesadaran yang dirasakan tidaklah demikian. Seolah bumi hanya diam
dan mataharilah yang bergerak dari arah timur ke barat.
Seandainya ilmu pengetahuan tidak pernah kita dapatkan masalah asal-usul
kejadian manusia. Mungkinkah kita tidak percaya, bahwa kita pernah hidup didalam
perut seorang ibu? Disana kita makan tanpa menggunakan mulut dan tidak perlu
bekerja untuk mencarinya. Sebelumnya kita berasal dari sel sperma yang sangat
kecil bentuknya. Dan mungkin kita tidak akan percaya bahwa bahan untuk menciptakan
manusia adalah berasal dari sari pati tanah. Padahal kita hidup, sadar dan
tidak pingsan. Apakah untuk menyadari sesuatu harus dengan penglihatan mata dan
pendengaran telinga? Perlukah kita menyadari dengan melihat dan merasakan bumi
sedang berputar cepat. Tentu tidak. Kita hanya memerlukan kesadaran intelektual
untuk membangun kesadaran ini.
Demikian
pula kesadaran tentang “Tuhan”, kita tidak harus melihat secara langsung akan
keberadaan Sang Pencipta untuk menyadari dan mengimani-Nya. Cukup memahami
bahwa seluruh benda yang tergelar pastilah ada yang merancang. Justru bagi
yang tidak percaya adanya yang merencanakan alam semesta, Al Qur’an menyebutnya
sebagai orang sangat primitif dan rendah ilmu pengetahuannya. Oleh sebab itu,
bagi orang-orang percaya dan sadar atas keberadaan dan kebenaran adanya Allah
disebut ulul albab, yaitu orang yang memiliki kesadaran tinggi.
Sebagaimana Firman Allah:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata): Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran [3]:190-191)
Dasar inilah
yang dikatakan kesadaran keimanan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Menciptakan.
Setelah memahami kesadaran ini, maka wajiblah kita mengakui dan menyerahkan
diri dan jiwa kita untuk berbakti kepada-Nya.
Iman
bukanlah semata-mata percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika persoalannya Tuhan itu
ada, maka iblis adalah makhluk yang tidak saja percaya bahwa Tuhan itu ada, dia
bahkan berhadapan langsung dengan Tuhan dalam suatu dialog yang sengit dalam
drama kosmis sekitar pengangkatan Adam sebagai khalifah. Tetapi, iblis yang
demikian itupun dikutuk sebagai kafir.
“Ia
menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk diantara mereka yang tidak
beriman” (QS. Al
Baqarah [2]:34).
Kalau iblis
dijadikan contoh, maka beriman itu tidak cukup hanya dengan penegasan diri
bahwa Tuhan itu ada. Beriman ialah mempercayai Tuhan dan menaruh kepercayaan
kepada Tuhan. Apapun yang dianugerahkan Allah kepada kita, itu harus diterima
dengan ridha. itulah yang disebut radhiyatan mardhiyah. Dengan demikian,
Allah akan mengatakan :
Masuklah
engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Masuklah engkau ke dalam syurga-Ku (QS,Al Fajr,89:29-30).
Shalat
merupakan jalan meletakkan kepercayaan kepada Allah, sehingga dibuka dalam doa
iftitah:
inna
shalati wa nusuki,wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin. (Sesungguhnya shalatku, pengabdianku,
hidup dan matiku hanya mengikuti keputusan Allah Tuhan Penguasa Alam). Namun
jika didalam kesadarannya kita tidak memiliki keimanan, maka shalat yang
demikian tidak memberikan dampak apa-apa terhadap jiwa pelakukanya.
Iman kepada
Yang Gaib, bukan berarti mempercayai sesuatu yang tidak ada. Sesungguhnya yang
gaib itu adalah nyata adanya. Sebagaimana ruh yang dikandung dalam badan kita.
Secara kasat mata ruh tidak kelihatan oleh mata, akan tetapi “NYATA” adanya.
Kenyataan ini yang tidak bisa diukur dengan konsep emperis materialisme. Karena
yang bukan materi juga sebenarnya “empiris”.
Mengapa kita mengingkari adanya
perasaan “cinta” dalam dada. Padahal perasaan itu bukanlah berada dalam
lempengan hati berupa daging. Ia ada pada dimensi ruhani yang juga bersifat
gaib. Sama halnya dengan adanya Allah, secara fisik tidak ada alat ukur untuk
menangkap keberadaan Allah maupun fiman Allah, karena alat ukur seperti indria
hanyalah menangkap sesuatu yang bersifat terbatas. Telinga tidak mampu
menangkap suara gerakan kuman atau semut yang sedang berjalan, mata telanjang
tidak mampu melihat ruang angkasa yang sangat luas. Akan tetapi keberadaan
Allah hanya bisa dirasakan oleh hati orang yang beriman. Sehingga respons-Nya
menggetarkan hati yang menyebut Nama Allah (zikrullah). (Abu Sangkan)
Posting Komentar