Al khusyu- Demi jiwa
serta penyempurnaannya, maka Dia mengilham¬kan kepada jiwa itu tentang
kejahatan dan ketaq¬waan. Sungguh beruntung¬lah orang yang menyucikan jiwanya,
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (As Syam 7-10).
Jika kita
malah semakin menghadapi jalan buntu dan tidak ada pula jalan keluar dari
permasalahan kita sesudah kita berdo’a, bolehlah kita pertanyakan kualitas jiwa
kita saat itu juga. Apakah jiwa kita benar-benar sudah bening saat kita
berkomunikasi dengan Allah Yang Maha mengetahui segala urusan? Sudahkah kita
menundukkan jiwa kita, berserah total? Sehingga dengan begitu kita akan bisa memahami
apa-apa yang diturunkan Allah kedalam jiwa kita.
Namun disini pulalah biasanya muncul sebuah pertanyaan klasik didalam pikiran kita sendiri ataupun dari orang lain. Bahwa: “mungkinkah orang biasa seperti kita ini bisa menerima petunjuk Allah secara langsung? Lalu seperti apakah keadaan yang akan kita rasakan saat itu?”
Allah (Pemberi)
cahaya (kepada) langi¬t dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada
Cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.( QS. An Nur, 24: 35)
Rangkaian
ayat-ayat diatas merupakan dasar-dasar sederhana tentang proses pengajaran
spiritual atau perjalanan ruhani yang sesungguhnya. Sebuah proses dimana
digambarkan adanya Cahaya Allah Sendiri yang menyinari jiwa kita terlebih
dahulu sehingga kemudian barulah kita bisa berada pada keadaan atau suasana
ketaqwaan. Disini kelihatan sekali bahwa pengajaran spiritual atau ruhaniah itu
bukanlah dalam bentuk kajian¬kajian ilmiah di Sekolah, di Universitas atau di
Pondok Pesantren
(Ma’hat) sebagaimana yang dikira oleh kebanyakan orang selama
ini.
Dalam
ayat-ayat tersebut, Allah menjelaskan proses pengajaran dan bimbinganNya kepada
kita melalui bentuk perumpamaan berupa Myskat (ceruk) yang didalamnya terletak
sebuah pelita yang tertutup kaca. Cahaya-Nya yang dilambangkan sebagai cahaya
pelita besar yang terkumpul didalam cerukan dinding yang berlubang, sebagai
perumpamaan atas dada manusia yang telah dipenuhi oleh Cahaya Allah. Dengan
Cahaya Allah itulah manusia akan mampu menangkap dengan jelas bimbingan Allah
didalam setiap langkah kehidupannya.
Cahaya Allah
itu tidak dapat diperoleh hanya dari proses mendengarkan pengajian, ceramah,
atau mengumpulkan data-data ilmu pengetahuan dari berbagai kitab terkenal.
Semua kajian itu perlu memang, tapi tetaplah itu belum cukup. Sebab pengetahuan
dari ceramah, pengajian, dan kitab-kitab itu barulah hanya berupa petunjuk awal
untuk memahami bagaimana kita seharusnya bersikap dan belajar menerima bimbingan
langsung dari Allah secara ruhani. Itupan kalau dipahami. Sebab sudah berbilang
zaman kita umat Islam ini seperti berada pada masa-masa traumatis untuk belajar
olah ruhani atau spiritualitas gara-gara ada Al Halaj dan Siti Jenar yang
dianggap oleh mayoritas ulama Islam mainstream sebagai simbol dari kesesatan
berspiritual. Sehingga akhirnya sampai sekarang, Agama Islam yang begitu indah
itu telah dipecah-pecah oleh umatnya sendiri, paling tidak, menjadi Islam
syariat disatu sisi, dan Islam hakekat dan atau ma’rifat disisi lainnya.
Padahal
Kitab Suci Al Qur’an yang merupakan “Peta Ruhani” dan petunjuk bagi pejalan
menuju Allah menjelaskan tentang keutuhan (kekaffahan) Islam itu sendiri.
Sebuah Islam yang tidak bisa dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan menjadi hanya
berupa Islam syariat saja, atau Islam hakekat dan ma’rifat saja. Keutuhan Islam
itu oleh Al Qur’an dijelaskan bahwa saat Islam itu dijalankan dengan sikap yang
tepat, maka akan ada pengajaran dari Allah yang dapat diterima secara langsung
oleh jiwa manusia. Pengajaran itu langsung diturunkan Allah kedalam jiwa
manusia yang telah dibersihkan oleh Allah karena sikap manusia itu sendiri
kepada Allah.
Sikap ini
dikenal dengan istilah IHSAN, yaitu sikap yang menyadari bahwa Allah melihat
sikap dan tindak tanduk hati kita setiap saat. Allah tidak hanya terbatas
mengamati perilaku dan aktifitas fisik kita saja, lalu setelah itu Allah hanya
tinggal berdiam diri dan memerintah-merintahkan para malaikat-Nya untuk melakukan
aktifitas selanjutnya.
Tidak
begitu. Allah Yang Maha Hidup selalu sangat SIBUK setiap saat memberikan
pengajaran kepada jiwa manusia yang percaya dan yakin atas keberadaan-Nya.
Sehingga dengan pengajaran dari Allah itu kita umat manusia ini bisa menyikapi
setiap problematika kehidupan kita dengan jiwa yang lapang dan tenang.
Disebutkan
juga didalam Al Qur’an bahwa Allah ADA. Namun keberadaan-Nya itu tidak bisa
ditangkap oleh penglihatan dan pikiran kita. Dia ada dan sangat dekat dengan
jiwa kita, sehingga apa-apa yang terlintas di dalam hati kita akan terdengar,
terlihat dan diketahui dengan sangat jelas oleh-Nya. Karena DIA memang Maha
Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui. Tidak hanya begitu, dengan tegas
Al Qur’an juga mengatakan bahwa Allah akan merespons setiap do’a
hamba-hamba-Nya yang berdo’a kepada-Nya. Dan kita sebagai objek dari respon
Allah itu akan dapat menangkap jawaban Allah itu seketika itu juga. Inilah yang
dinamakan sikap ihsan yang utuh atas keberadaan dan kegiatan Allah terhadap
manusia.
Maka dengan
demikian, pemahaman atas Allah dengan segala keberandaan dan kegiatan-Nya dapat
disederhanakan dalam bentuk sikap tadzkiyatunnafs berikut ini:
Maka apakah
orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (SUDUR, DADA, JIWA, RUHANI) untuk
(menerima) agama Islam lalu ia (DADA ITU) MENDAPAT CAHAYA dari Tuhannya (sama
dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya untuk mengingat Alla¬h. Mereka itu dalam kesesatan
yang nyata. (Az Zumar 22).
Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada
seorangpun pemberi petunjuk baginya. (Az Zumar 23).
Dia-lah yang
telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana, (Al Fath 4).
Disinilah
diperlukan sebuah alat komunikasi antara Allah dengan manusia. Yaitu Jiwa,
dada, ruhani, atau sudur tempat dimana Allah berhubungan langsung dengan
manusia. Bahwa setiap manusia pasti memiliki jiwa, melalui jiwa inilah manusia
dapat berkomunikasi dengan Allah. Dan kepada jiwa manusia pulalah Allah
menuntun kegiatan Ruhani menuju pengetahuan-Nya berupa ilham tentang ketaqwaan.
Pengetahuan ruhani itu dapat kita rasakan secara langsung tanpa hijab. Kita
akan merasakan setiap tuntunan itu akan mengarah kepada kebaikan dan
kebahagiaan sejati.
Hasil yang
kita dapatkan, bisa kita kalibarasi ulang dengan memakai ayat Al Qur’an yang
merupakan penjelasan mengenai pengalaman pengajaran spiritual didalam jiwa Para
Nabi Allah, Para Wali Allah, dan orang-orang shaleh sepanjang masa. Kita akan
diajak oleh ayat Al Qur’an itu untuk berada dalam keadaan, suasana, realitas
dari dunia spiritual itu yang bukan lagi dalam bentuk pengetahuan spiritual.
Kita akan berada (being experience) dalam pengalam¬an spiritual sebenarnya yang
tidak bisa diungkapkan dalam bentuk kata-kata dan artikulasi bunyi. Keadaanya
sama sebagaimana kita pernah merasakan rasa cinta yang sejati kepada kekasih
kita ataupun kepada orang-orang lain yang kita cintai.
Allah berkata
bahwa : Jika kita menyebut nama-Nya didalam jiwa kita dengan merendahkan diri
dan penuh hormat (tadarru), maka Allah akan menurunkan rasa tenang yang
mengalir kedalam jiwa kita. Jika kita mengalami keadaan ini, berarti kita bisa
memahami keadaan itu secara nyata didalam jiwa kita. Jadi bukan memahami
keadaan itu didalam pikiran kita. Karena keadaan itu bukanlah sesuatu yang bisa
diberitahu melalui proses olah otak oleh orang lain kepada kita. Bukan…!. Itu
adalah respon atau tanggapan Allah sendiri kepada kita secara langsung. Sebab
Allah Yang Maha Hidup pasti akan selalu merespons apa yang kita lakukan
dihadapan-Nya. Jika kita hadir, Allah juga akan hadir. Jika kita berkata,
Allahpun berkata dalam bahasa-Nya yang hanya bisa dipahami oleh Jiwa kita.
Allah
berfirman :
…..barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan bagi¬nya jalan keluar. Dan
memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukup¬kan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.( QS. Ath
Thalaq,65:2-3).
Ayat Al
Qur’an ini adalah sebuah peta ruhani yang suasananya hanya bisa dimiliki oleh
orang yang bertaqwa. Artinya orang yang belum berada pada posisi orang yang
bertaqwa tidak akan dapat menangkap suasana dari proses yang sedang berlangsung
seperti yang diterangkan oleh ayat ini. Oleh sebab itu, untuk mengetahui posisi
kita, apakah kita ini sudah termasuk kedalam kualitas orang yang bertaqwa atau
bukan, kita tinggal membandingkan keadaan jiwa kita dengan ayat Al Qur’an
tersebut diatas.
Tentu kita
pernah berada dalam kesulitan hidup, lalu kita berdo’a. Amatilah apa yang kita
rasakan saat kita berada dalam kesulitan itu kemudian kita berdoa dan
bertawakkal kepada Allah. Apakah kemudian kita langsung merasakan ada jawaban
Allah kepada kita, sehingga kita mendapatkan jalan keluar dari kesulitan kita
itu?. Bahkan ketika kita membutuhkan rizki yang kita inginkan, apakah kita bisa
mendapatkan rizki itu dari arah yang tidak kita sangka-sangka sama sekali?.
Sebab Allah
PASTI akan memberikan jawaban-Nya langsung kedalam hati orang beriman. Jika
tidak ada jawaban, pasti ada yang salah dalam hal ini. Karena Allah tidak
mungkin akan mengingkari janji-Nya (laa tukhliful mi’aad).
Untuk itu,
perlulah kiranya kita memahami lebih dalam lagi tentang kadar atau tingkat
kepercayaan kita kepada Allah, terutama tentang bagaimana caranya agar kita
bisa menangkap signal atau getaran jawaban Allah terhadap setiap seruan dan
do’a kita. Kemudian barulah signal itu kita terjemahkan dalam bentuk bahasa
ataupun tindakan kita.
Namun disini pulalah biasanya muncul sebuah pertanyaan klasik didalam pikiran kita sendiri ataupun dari orang lain. Bahwa: “mungkinkah orang biasa seperti kita ini bisa menerima petunjuk Allah secara langsung? Lalu seperti apakah keadaan yang akan kita rasakan saat itu?”
Inilah dua
bentuk pertanyaan yang biasanya muncul dibenak kita maupun benak orang lain.
Pertanyaan yang penuh keragu-raguan yang merupakan buah dari pengajaran yang
diterima umat Islam sejak dari dulu sampai sekarang. Kita memang hampir selalu
dididik dengan citra rasa keragu-raguan terhadap kemampuan kita untuk saling
berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Bahwa Allah, setelah masa kerasulan
Nabi Muhammad, sudah tidak pernah lagi berkomunikasi langsung dengan orang
biasa seperti kita. Seakan-akan Allah sudah pensiun dan duduk manis di
singasana-Nya menunggu terjadinya Hari Pembalasan.
Saat kita
mengatakan bahwa kita bisa berkomunikasi langsung dengan Allah sekarang ini,
dan kita bisa menangkap jawaban Allah terhadap do’a-do’a kita, maka banyak
orang yang akan bertanya kepada kita:
“Hei…, atas
kewenangan dari siapakah Anda berbicara seperti itu? Bukankah Anda hanya orang
biasa saja, bukan nabi, bukan seseorang yang resmi punya hak untuk berkata
begitu?”.
Sebenarnya
untuk menjawabnya, kita bisa saja balik bertanya kepada mereka: “atas
kewenangan siapa pulakah Anda bertanya seperti itu kepada saya?.
Sebab
kewenangan untuk bertanya dan untuk berbicara sebenarnya adalah dua hak yang
sama-sama hakikinya didalam diri kita masing-masing. Bahwa kita berani
berbicara tentang sesuatu karena kita memang bisa dan mengerti tentang apa yang
kita bicarakan itu.
Rasanya
sudah sejak lama sekali, tidak ada lagi orang yang berani berbicara tentang
hal-hal yang sebenarnya ada didalam jiwa kita. Karena kita tidak punya lagi
kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Kita jadi begitu takut dengan reaksi
orang lain atas apa-apa yang kita katakan. Kita jadi terbiasa untuk tidak
selaras dengan jiwa kita. Jadilah kita berkata-kata tentang sesuatu yang
sebenarnya sedang tidak terjadi didalam jiwa kita.
Ya…, kita
tidak lagi mengatakan hal-hal yang selaras dengan jiwa kita sendiri, sehingga
kita merasa membutuhkan dunia luar atau lembaga resmi yang memberi tahu kita
bahwa kita telah berada dijalur yang benar dan tepat. Stempel resmi ini kita
butuhkan untuk mengesahkan posisi sipiritualitas kita didepan orang banyak.
Tanpa stempel resmi itu, kita seperti tidak punya kewenangan dan keberanian
untuk berbicara tentang posisi kejiwaan kita sendiri. Sementara dilain pihak
kita diperintahkan untuk menyampaikan kebaikan demi kebaikan. Akan tetapi saat
itu jiwa kita sendiri sedang tidak berada dalam suasana kebaikan. Tentulah itu
sulit sekali…
Itulah
sebabnya Allah didalam Al Qur’an berkata bahwa sangat besar kemurkaan-Nya
kepada kita saat kita berkata-kata terhadap keadaan atau suasana yang tidak
seirama dengan keadaan atau suasana yang ada didalam jiwa kita. Karena kalau
saat berkata-kata, sementara suasana jiwa kita sendiri tidak seirama dengan
perkataan kita, maka jiwa kita sendiri akan menolaknya dari dalam. “ah saya kan
sedang berbohong…!”
Ya…, Jiwa
kita sendiri mengatakan bahwa kita tengah berbohong, sehingga yang muncul
adalah keragu-raguan kita terhadap apa-apa yang kita katakan. Dan pastilah itu
tidak punya power apa-apa terhadap diri kita sendiri, apalagi terhadap orang
lain. Kalau sudah begini, maka kita berarti menghalangi kematangan diri kita
secara ruhani, dan sekaligus menghambat perkembangan diri kita menjadi diri
yang terbaik.
Padahal,
tatkala kita berhasil menjadi matang secara ruhani, maka sikap dan perkataan kita
akan jadi selaras dan seirama dengan jiwa kita sendiri. Kita menjadi diri yang
bisa FOKUS kepada sasaran hidup kita yang tak lain dan tak bukan adalah sebagai
hamba sahaya Allah. Hamba yang siap untuk disuruh-¬suruh oleh Allah menjalankan
tugas-tugas tertentu sebagai penyebab hadir¬nya kita ke dunia ini. Kita akan
menjadi diri yang mampu berpartisipasi untuk membangun peradaban manusia.
Karena
memang dunia ini adalah seperti sebuah layar besar tempat dimana kita bisa
memproyeksikan diri kita keatasnya. Ketika kita tahu bahwa proyeksi diri kita
yang muncul dilayar dunia itu kurang sempurna, kurang bagus, atau kurang
berhasil, maka dengan serta merta kitapun berusaha merubah diri kita sendiri
terlebih dahulu tanpa kita bermaksud ingin merubah, menyalahkan, atau
mengalahkan orang lain.
Kita
sendirilah yang dengan tekad yang kuat berusaha meraih kesempurnaan atau
ketuntasan dalam proses perjalanan hidup kita. Dengan begitu proyeksi diri kita
diatas layar panggung dunia akan menjadi seirama dengan tekad kita yang
tertinggi, yaitu sebagai hamba Allah. Kita menjadi begitu terbuka dan tidak
menutup diri terhadap dunia dengan segala persoalannya. Kita tidak berusaha
untuk mengendalikan dunia dengan segala isi dan problematikanya. Tidak. Tetapi
kita berusaha untuk menerima dunia ini apa adanya, as it is, sembari kita terus
menerus mencari bimbingan langsung kepada Allah, yang telah menghadirkan kita
kemuka bumi ini, agar kita bisa memberikan respon yang selaras dengan fungsi
kehambaan kita.
Sebab tugas
kita didunia ini bukanlah untuk mengalahkan dan menaklukkan apa-apa yang
mungkin dianggap musuh oleh sementara kebanyakan orang. Kita juga tidak
ditugaskan Allah untuk membuat orang lain takluk dan berada dalam kendali kita.
Tidak. Tugas kita yang sejati adalah untuk selalu masuk kekedalaman jiwa kita
sendiri. Masuk kedalam pusat batin kita sendiri untuk kemudian mene¬mukan
kesejatian kita. Bahwa ternyata sebenarnya kita ini adalah RUH Milik Alla¬h
yang diturunkan dan diutus oleh Allah kemuka bumi untuk mewakili Allah
membentuk peradaban umat manusia. Peradaban yang mampu memberikan peluang
sebesar-besarnya bagi siapapun juga untuk bisa belajar, bisa tumbuh dan
berkembang, serta bisa berbagi dengan sesama.
Dalam posisi
kehambaan seperti inilah kita akan bisa menjalani kehidupan dengan spontan
seraya terus-menerus mencoba merelakan apapun yang terjadi. Kita akan bisa
menerima segala keadaan, bekerja sama dengan segala keadaan, memahami segala
keadaan, bersemangat terhadap segala keadaan, dan berempati atas segala
keadaan. Karena jiwa kita sendiri telah mengembangkan sebuah kecerdasan untuk
menyikapi segala keadaan. Sebuah hadis berikut sangat pas untuk menggambarkan
keadaan ini.
Ittaquu
firasatal mukmin, fa innahu yandhuru binurillah : Percayalah dengan Firasat
orang beriman, karena Ia melihat dengan Cahaya Allah. ( Al hadist )
Bersambung
Posting Komentar