Al khusyu- Tentu
kita pernah berada dalam kesulitan hidup, lalu kita berdo’a. Amatilah apa yang
kita rasakan saat kita berada dalam kesulitan itu kemudian kita berdoa dan
bertawakkal kepada Allah. Apakah kemudian kita langsung merasakan ada jawaban
Allah kepada kita, sehingga kita mendapatkan jalan keluar dari kesulitan kita
itu?. Bahkan ketika kita membutuhkan rizki yang kita inginkan, apakah kita bisa
mendapatkan rizki itu dari arah yang tidak kita sangka-sangka sama sekali?.
Jika
kita malah semakin menghadapi jalan buntu dan tidak ada pula jalan keluar dari
permasalahan kita sesudah kita berdoa, bolehlah kita pertanyakan kualitas jiwa
kita saat itu juga. Apakah jiwa kita benar-benar sudah bening saat kita
berkomunikasi dengan Allah Yang Maha mengetahui segala urusan? Sudahkah kita
menundukkan jiwa kita, berserah total?. Sehingga dengan begitu kita akan bisa
memahami apa-apa yang diturunkan Allah kedalam jiwa kita.
Sebab
Allah PASTI akan memberikan jawaban-Nya langsung kedalam hati orang beriman.
Jika tidak ada jawaban, pasti ada yang salah dalam hal ini. Karena Allah tidak
mungkin akan mengingkari janji-Nya (laa tukhliful mi’aad).
Untuk
itu, perlulah kiranya kita memahami lebih dalam lagi tentang kadar atau tingkat
kepercayaan kita kepada Allah, terutama tentang bagaimana caranya agar kita
bisa menangkap signal atau getaran jawaban Allah terhadap setiap seruan dan
do’a kita. Kemudian barulah signal itu kita terjemahkan dalam bentuk bahasa
ataupun tindakan kita.
Namun
disini pulalah biasanya muncul sebuah pertanyaan klasik didalam pikiran kita
sendiri ataupun dari orang lain. Bahwa: Mungkinkah orang biasa seperti kita ini
bisa menerima petunjuk Allah secara langsung? Lalu seperti apakah keadaan yang
akan kita rasakan saat itu?.
Inilah
dua bentuk pertanyaan yang bisanya muncul dibenak kita maupun benak orang lain.
Pertanyaan yang penuh keragu-raguan yang merupakan buah dari pengajaran yang
diterima umat Islam sejak dari dulu sampai sekarang. Kita memang hampir selalu
dididik dengan citra rasa keragu-raguan terhadap kemampuan kita untuk saling
berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Bahwa Allah, setelah masa kerasulan
Nabi Muhammad, sudah tidak pernah lagi berkomunikasi langsung dengan orang
biasa seperti kita. Seakan-akan Allah sudah pensiun dan duduk manis di
singasana-Nya menunggu terjadinya Hari Pembalasan.
Saat
kita mengatakan bahwa kita bisa berkomunikasi langsung dengan Allah sekarang
ini, dan kita bisa menangkap jawaban Allah terhadap do’a-do’a kita, maka banyak
orang yang akan bertanya kepada kita:
“Hei…,
atas kewenangan dari siapakah anda berbicara seperti itu? Bukankah anda hanya
orang biasa saja, bukan nabi, bukan seseorang yang resmi punya hak untuk
berkata begitu?”.
Sebenarnya
untuk menjawabnya, kita bisa saja balik bertanya kepada mereka: “atas
kewenangan siapa pulakah anda bertanya seperti itu kepada saya?.
Sebab
kewenangan untuk bertanya dan untuk berbicara sebenarnya adalah dua hak yang
sama-sama hakikinya didalam diri kita masing-masing. Bahwa kita berani
berbicara tentang sesuatu karena kita memang bisa dan mengerti tentang apa yang
kita bicarakan itu.
Rasanya
sudah sejak lama sekali, tidak ada lagi orang yang berani berbicara tentang
hal-hal yang yang sebenarnya ada didalam jiwa kita. Karena kita tidak punya
lagi kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Kita jadi begitu takut dengan
reaksi orang lain atas apa-apa yang kita katakan. Kita jadi terbiasa untuk
tidak selaras dengan jiwa kita. Jadilah kita berkata-kata tentang sesuatu yang
sebenarnya sedang tidak terjadi didalam jiwa kita.
Ya,
kita tidak lagi mengatakan hal-hal yang selaras dengan jiwa kita sendiri,
sehingga kita merasa membutuhkan dunia luar atau lembaga resmi yang memberi
tahu kita bahwa kita telah berada dijalur yang benar dan tepat. Stempel resmi
ini kita butuhkan untuk mengesahkan posisi sipiritualitas kita didepan orang
banyak. Tanpa stempel resmi itu, kita seperti tidak punya kewenangan dan
keberanian untuk berbicara tentang posisi kejiwaan kita sendiri. Sementara
dilain pihak kita diperintahkan untuk menyampaikan kebaikan demi kebaikan. Akan
tetapi saat itu jiwa kita sendiri sedang tidak berada dalam suasana kebaikan.
Tentulah itu sulit sekali…
Itulah
sebabnya Allah didalam Al Qur’an berkata bahwa sangat besar kemurkaan-Nya
kepada kita saat kita berkata-kata terhadap keadaan atau suasana yang tidak
seirama dengan keadaan atau suasana yang ada didalam jiwa kita. Karena kalau
saat berkata-kata, sementara suasana jiwa kita sendiri tidak seirama dengan
perkataan kita, maka jiwa kita sendiri akan menolaknya dari dalam. “ah sayakan
sedang berbohong!”
Ya,
Jiwa kita sendiri mengatakan bahwa kita tengah berbohong, sehingga yang muncul
adalah keragu-raguan kita terhadap apa-apa yang kita katakan. Dan pastilah itu
tidak punya power apa-apa terhadap diri kita sendiri, apalagi terhadap orang
lain. Kalau sudah begini, maka kita berarti menghalangi kematangan diri kita
secara ruhani, dan sekaligus menghambat perkembangan diri kita menjadi diri
yang terbaik.
Padahal,
tatkala kita berhasil menjadi matang secara ruhani, maka sikap dan perkataan
kita akan jadi selaras dan seirama dengan jiwa kita sendiri. Kita menjadi diri
yang bisa FOKUS kepada sasaran hidup kita yang tak lain dan tak bukan adalah
sebagai hamba sahaya Allah. Hamba yang siap untuk disuruh-suruh oleh Allah
menjalankan tugas-tugas tertentu sebagai penyebab hadirnya kita ke dunia ini.
Kita akan menjadi diri yang mampu berpartisipasi untuk membangun peradaban
manusia.
Karena
memang dunia ini adalah seperti sebuah layar besar tempat dimana kita bisa
memproyeksikan diri kita keatasnya. Ketika kita tahu bahwa proyeksi diri kita
yang muncul dilayar dunia itu kurang sempurna, kurang bagus, atau kurang
berhasil, maka dengan serta merta kitapun berusaha merubah diri kita sendiri
terlebih dahulu tanpa kita bermaksud ingin merubah, menyalahkan, atau
mengalahkan orang lain.
Kita
sendirilah yang dengan tekad yang kuat berusaha meraih kesempurnaan atau
ketuntasan dalam proses perjalanan hidup kita. Dengan begitu proyeksi diri kita
diatas layar panggung dunia akan menjadi seirama dengan tekad kita yang
tertinggi, yaitu sebagai hamba Allah. Kita menjadi begitu terbuka dan tidak
menutup diri terhadap dunia dengan segala persoalannya. Kita tidak berusaha
untuk mengendalikan dunia dengan segala isi dan problematikanya. Tidak. Tetapi
kita berusaha untuk menerima dunia ini apa adanya, as it is, sembari kita terus
menerus mencari bimbingan langsung kepada Allah, yang telah menghadirkan kita
kemuka bumi ini, agar kita bisa memberikan respon yang selaras dengan fungsi
kehambaan kita.
Sebab
kita tugas kita didunia ini bukanlah untuk mengalahkan dan menaklukkan apa-apa
yang mungkin dianggap musuh oleh sementara kebanyakan orang. Kita juga tidak
ditugaskan Allah untuk membuat orang lain takluk dan berada dalam kendali kita.
Tidak. Tugas kita yang sejati adalah untuk selalu masuk kekedalaman jiwa kita
sendiri. Masuk kedalam pusat batin kita sendiri untuk kemudian menemukan
kesejatian kita. Bahwa ternyata sebenarnya kita ini adalah RUH Milik Allah yang
diturunkan dan diutus oleh Allah kemuka bumi untuk mewakili Allah membentuk
peradaban umat manusia. Peradaban yang mampu memberikan peluang
sebesar-besarnya bagi siapapun juga untuk bisa belajar, bisa tumbuh dan
berkembang, serta bisa berbagi dengan sesama.
Dalam
posisi kehambaan seperti inilah kita akan bisa menjalani kehidupan dengan
spontan seraya terus-menerus mencoba merelakan apapun yang terjadi. Kita akan
bisa menerima segala keadaan, bekerja sama dengan segala keadaan, memahami
segala keadaan, bersemangat terhadap segala keadaan, dan berempati atas segala
keadaan. Karena jiwa kita sendiri telah mengembangkan sebuah kecerdasan untuk
menyikapi segala keadaan. Sebuah hadist berikut sangat pas untuk menggambarkan
keadaan ini.
Ittaquu
firasatal mukmin, fa innahu yandhuru binurillah : Percayalah dengan Firasat
orang beriman, karena Ia melihat dengan Cahaya Allah. ( Al hadist )
Untuk
mengaktifkan jiwa itu, sebenarnya tidak perlu melakukan teknik yang
sulit-sulit. Dengan langkah sesederhana berikut ini saja, jiwa kita sudah bisa
kita aktifkan menghadap kepada Cahaya diatas cahaya, Allah:
•
Duduklah dalam keadaan bersih lahir maupun bathin.
•Tinggalkan
kegiatan lahir yang berasal dari nafsu.
•
Aktifkan ruhani anda, bukan pikiran dan mata anda. Karena Allah tidak bisa
dijangkau oleh pikiran dan penglihatan anda.
•
Duduklah dengan penuh taqwa dan percaya serta mewakilkan (menggantungkan) segala
hidup anda kepada Allah saja.
•
Hadirlah dihadapan-Nya dengan tunduk dan hormat, hilangkan keraguan dalam hati.
•
Sebutlah Nama Allah dengan penuh harap, sehingga terasa hening didalam jiwa
anda.
•
Rasakan keheningan yang diturunkan didalam hati anda, semakin lama akan terasa
bening dan menenangkan.
•
Tundukkan jiwa anda semakin dalam, biarkan lintasan pikiran yang sesekali
muncul menggangu. Jangan perdulikan, tetaplah anda mengamati keheningan jiwa
anda.
•
Dan berusahalah tetap menyebut Nama Allah sampai pada tahapan anda mampu
membedakan pikiran, emosi, perasaan atau ilham yang datang dengan sangat cepat
dan jelas.
Biasanya
petunjuk dari Allah akan muncul pada saat pikiran anda tidak terlibat, nafsu
dan emosi anda tersapih. Petunjuk Allah itu datang bukan dari hasil rekayasa
pikiran dan khayalan, bukan dari rangkaian peristiwa memorisasi di dalam otak.
Petunjuk Allah itu menyusup sangat cepat dan jelas kedalam jiwa anda. Rasanya
anda seperti sudah berada pada keadaan yang akan terjadi. Anda diberi kepahaman
langsung kedalam jiwa anda. Ciri-cirinya adalah bahwa saat itu anda tidak ada keraguan
sedikitpun. Sebab petunjuk itu datang berupa keadaan seperti sebuah keadaan
yang akan terjadi sebelum terjadi.
Mengapa
bisa demikian?. Karena saat itu anda sedang berada pada orbit jiwa yang tidak
terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Saat itu tidak ada lagi masa lampau dan
masa yang akan datang. Yang ada adalah saat ini. Anda telah terlepas dari
ikatan tubuh anda yang memiliki arah dan jarak. Sebab Jiwa anda bukanlah badan
ini. Karena badan akan terikat oleh putaran bumi dan orbit matahari, sehingga
dengan begitu terjadilah adanya waktu. Ada rentang waktu masa lalu dan masa
yang akan datang. Sedang jiwa anda tidak begitu.
Demikianlah
sekilas celah pemaknaan alternatif. Tujuannya tidak lain adalah agar kita bisa masuk kedalam keadaan
jiwa orang-orang yang bertaqwa seperti juga yang dirasakan oleh orang-orang
terdahulu.
Marilah
kita berada didalam jiwa kita masing-masing. Mari kita berjalan mendekat kepada
Allah, sehingga kita akan bisa merasakan petunjuk Allah dengan semakin jelas.
Tak
lupa terantar terima kasih saya kepada Bapak H. Slamet Utomo dan Ustadz H. Abu
Sangkan, yang dari dada-dada Beliaulah saya sekarang bisa hidup dengan lebih berarti.
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…
Wassalam,
Oleh:
Yusdeka
Cilegon,
Banten.
Posting Komentar