Halloween party ideas 2015

Al khusyu- Tentu kita pernah berada dalam kesulitan hidup, lalu kita berdo’a. Amatilah apa yang kita rasakan saat kita berada dalam kesulitan itu kemudian kita berdoa dan bertawakkal kepada Allah. Apakah kemudian kita langsung merasakan ada jawaban Allah kepada kita, sehingga kita mendapatkan jalan keluar dari kesulitan kita itu?. Bahkan ketika kita membutuhkan rizki yang kita inginkan, apakah kita bisa mendapatkan rizki itu dari arah yang tidak kita sangka-sangka sama sekali?.


Jika kita malah semakin menghadapi jalan buntu dan tidak ada pula jalan keluar dari permasalahan kita sesudah kita berdoa, bolehlah kita pertanyakan kualitas jiwa kita saat itu juga. Apakah jiwa kita benar-benar sudah bening saat kita berkomunikasi dengan Allah Yang Maha mengetahui segala urusan? Sudahkah kita menundukkan jiwa kita, berserah total?. Sehingga dengan begitu kita akan bisa memahami apa-apa yang diturunkan Allah kedalam jiwa kita.

Sebab Allah PASTI akan memberikan jawaban-Nya langsung kedalam hati orang beriman. Jika tidak ada jawaban, pasti ada yang salah dalam hal ini. Karena Allah tidak mungkin akan mengingkari janji-Nya (laa tukhliful mi’aad).


Untuk itu, perlulah kiranya kita memahami lebih dalam lagi tentang kadar atau tingkat kepercayaan kita kepada Allah, terutama tentang bagaimana caranya agar kita bisa menangkap signal atau getaran jawaban Allah terhadap setiap seruan dan do’a kita. Kemudian barulah signal itu kita terjemahkan dalam bentuk bahasa ataupun tindakan kita.

Namun disini pulalah biasanya muncul sebuah pertanyaan klasik didalam pikiran kita sendiri ataupun dari orang lain. Bahwa: Mungkinkah orang biasa seperti kita ini bisa menerima petunjuk Allah secara langsung? Lalu seperti apakah keadaan yang akan kita rasakan saat itu?.

Inilah dua bentuk pertanyaan yang bisanya muncul dibenak kita maupun benak orang lain. Pertanyaan yang penuh keragu-raguan yang merupakan buah dari pengajaran yang diterima umat Islam sejak dari dulu sampai sekarang. Kita memang hampir selalu dididik dengan citra rasa keragu-raguan terhadap kemampuan kita untuk saling berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Bahwa Allah, setelah masa kerasulan Nabi Muhammad, sudah tidak pernah lagi berkomunikasi langsung dengan orang biasa seperti kita. Seakan-akan Allah sudah pensiun dan duduk manis di singasana-Nya menunggu terjadinya Hari Pembalasan.

Saat kita mengatakan bahwa kita bisa berkomunikasi langsung dengan Allah sekarang ini, dan kita bisa menangkap jawaban Allah terhadap do’a-do’a kita, maka banyak orang yang akan bertanya kepada kita:

“Hei…, atas kewenangan dari siapakah anda berbicara seperti itu? Bukankah anda hanya orang biasa saja, bukan nabi, bukan seseorang yang resmi punya hak untuk berkata begitu?”.
Sebenarnya untuk menjawabnya, kita bisa saja balik bertanya kepada mereka: “atas kewenangan siapa pulakah anda bertanya seperti itu kepada saya?.

Sebab kewenangan untuk bertanya dan untuk berbicara sebenarnya adalah dua hak yang sama-sama hakikinya didalam diri kita masing-masing. Bahwa kita berani berbicara tentang sesuatu karena kita memang bisa dan mengerti tentang apa yang kita bicarakan itu.

Rasanya sudah sejak lama sekali, tidak ada lagi orang yang berani berbicara tentang hal-hal yang yang sebenarnya ada didalam jiwa kita. Karena kita tidak punya lagi kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Kita jadi begitu takut dengan reaksi orang lain atas apa-apa yang kita katakan. Kita jadi terbiasa untuk tidak selaras dengan jiwa kita. Jadilah kita berkata-kata tentang sesuatu yang sebenarnya sedang tidak terjadi didalam jiwa kita.

Ya, kita tidak lagi mengatakan hal-hal yang selaras dengan jiwa kita sendiri, sehingga kita merasa membutuhkan dunia luar atau lembaga resmi yang memberi tahu kita bahwa kita telah berada dijalur yang benar dan tepat. Stempel resmi ini kita butuhkan untuk mengesahkan posisi sipiritualitas kita didepan orang banyak. Tanpa stempel resmi itu, kita seperti tidak punya kewenangan dan keberanian untuk berbicara tentang posisi kejiwaan kita sendiri. Sementara dilain pihak kita diperintahkan untuk menyampaikan kebaikan demi kebaikan. Akan tetapi saat itu jiwa kita sendiri sedang tidak berada dalam suasana kebaikan. Tentulah itu sulit sekali…

Itulah sebabnya Allah didalam Al Qur’an berkata bahwa sangat besar kemurkaan-Nya kepada kita saat kita berkata-kata terhadap keadaan atau suasana yang tidak seirama dengan keadaan atau suasana yang ada didalam jiwa kita. Karena kalau saat berkata-kata, sementara suasana jiwa kita sendiri tidak seirama dengan perkataan kita, maka jiwa kita sendiri akan menolaknya dari dalam. “ah sayakan sedang berbohong!”

Ya, Jiwa kita sendiri mengatakan bahwa kita tengah berbohong, sehingga yang muncul adalah keragu-raguan kita terhadap apa-apa yang kita katakan. Dan pastilah itu tidak punya power apa-apa terhadap diri kita sendiri, apalagi terhadap orang lain. Kalau sudah begini, maka kita berarti menghalangi kematangan diri kita secara ruhani, dan sekaligus menghambat perkembangan diri kita menjadi diri yang terbaik.

Padahal, tatkala kita berhasil menjadi matang secara ruhani, maka sikap dan perkataan kita akan jadi selaras dan seirama dengan jiwa kita sendiri. Kita menjadi diri yang bisa FOKUS kepada sasaran hidup kita yang tak lain dan tak bukan adalah sebagai hamba sahaya Allah. Hamba yang siap untuk disuruh-suruh oleh Allah menjalankan tugas-tugas tertentu sebagai penyebab hadirnya kita ke dunia ini. Kita akan menjadi diri yang mampu berpartisipasi untuk membangun peradaban manusia.

Karena memang dunia ini adalah seperti sebuah layar besar tempat dimana kita bisa memproyeksikan diri kita keatasnya. Ketika kita tahu bahwa proyeksi diri kita yang muncul dilayar dunia itu kurang sempurna, kurang bagus, atau kurang berhasil, maka dengan serta merta kitapun berusaha merubah diri kita sendiri terlebih dahulu tanpa kita bermaksud ingin merubah, menyalahkan, atau mengalahkan orang lain.

Kita sendirilah yang dengan tekad yang kuat berusaha meraih kesempurnaan atau ketuntasan dalam proses perjalanan hidup kita. Dengan begitu proyeksi diri kita diatas layar panggung dunia akan menjadi seirama dengan tekad kita yang tertinggi, yaitu sebagai hamba Allah. Kita menjadi begitu terbuka dan tidak menutup diri terhadap dunia dengan segala persoalannya. Kita tidak berusaha untuk mengendalikan dunia dengan segala isi dan problematikanya. Tidak. Tetapi kita berusaha untuk menerima dunia ini apa adanya, as it is, sembari kita terus menerus mencari bimbingan langsung kepada Allah, yang telah menghadirkan kita kemuka bumi ini, agar kita bisa memberikan respon yang selaras dengan fungsi kehambaan kita.

Sebab kita tugas kita didunia ini bukanlah untuk mengalahkan dan menaklukkan apa-apa yang mungkin dianggap musuh oleh sementara kebanyakan orang. Kita juga tidak ditugaskan Allah untuk membuat orang lain takluk dan berada dalam kendali kita. Tidak. Tugas kita yang sejati adalah untuk selalu masuk kekedalaman jiwa kita sendiri. Masuk kedalam pusat batin kita sendiri untuk kemudian menemukan kesejatian kita. Bahwa ternyata sebenarnya kita ini adalah RUH Milik Allah yang diturunkan dan diutus oleh Allah kemuka bumi untuk mewakili Allah membentuk peradaban umat manusia. Peradaban yang mampu memberikan peluang sebesar-besarnya bagi siapapun juga untuk bisa belajar, bisa tumbuh dan berkembang, serta bisa berbagi dengan sesama.


Dalam posisi kehambaan seperti inilah kita akan bisa menjalani kehidupan dengan spontan seraya terus-menerus mencoba merelakan apapun yang terjadi. Kita akan bisa menerima segala keadaan, bekerja sama dengan segala keadaan, memahami segala keadaan, bersemangat terhadap segala keadaan, dan berempati atas segala keadaan. Karena jiwa kita sendiri telah mengembangkan sebuah kecerdasan untuk menyikapi segala keadaan. Sebuah hadist berikut sangat pas untuk menggambarkan keadaan ini.

Ittaquu firasatal mukmin, fa innahu yandhuru binurillah : Percayalah dengan Firasat orang beriman, karena Ia melihat dengan Cahaya Allah. ( Al hadist )

Untuk mengaktifkan jiwa itu, sebenarnya tidak perlu melakukan teknik yang sulit-sulit. Dengan langkah sesederhana berikut ini saja, jiwa kita sudah bisa kita aktifkan menghadap kepada Cahaya diatas cahaya, Allah:
• Duduklah dalam keadaan bersih lahir maupun bathin.
•Tinggalkan kegiatan lahir yang berasal dari nafsu.
• Aktifkan ruhani anda, bukan pikiran dan mata anda. Karena Allah tidak bisa dijangkau oleh pikiran dan penglihatan anda.
• Duduklah dengan penuh taqwa dan percaya serta mewakilkan (menggantungkan) segala hidup anda kepada Allah saja.
• Hadirlah dihadapan-Nya dengan tunduk dan hormat, hilangkan keraguan dalam hati.
• Sebutlah Nama Allah dengan penuh harap, sehingga terasa hening didalam jiwa anda.
• Rasakan keheningan yang diturunkan didalam hati anda, semakin lama akan terasa bening dan menenangkan.
• Tundukkan jiwa anda semakin dalam, biarkan lintasan pikiran yang sesekali muncul menggangu. Jangan perdulikan, tetaplah anda mengamati keheningan jiwa anda.
• Dan berusahalah tetap menyebut Nama Allah sampai pada tahapan anda mampu membedakan pikiran, emosi, perasaan atau ilham yang datang dengan sangat cepat dan jelas.

Biasanya petunjuk dari Allah akan muncul pada saat pikiran anda tidak terlibat, nafsu dan emosi anda tersapih. Petunjuk Allah itu datang bukan dari hasil rekayasa pikiran dan khayalan, bukan dari rangkaian peristiwa memorisasi di dalam otak. Petunjuk Allah itu menyusup sangat cepat dan jelas kedalam jiwa anda. Rasanya anda seperti sudah berada pada keadaan yang akan terjadi. Anda diberi kepahaman langsung kedalam jiwa anda. Ciri-cirinya adalah bahwa saat itu anda tidak ada keraguan sedikitpun. Sebab petunjuk itu datang berupa keadaan seperti sebuah keadaan yang akan terjadi sebelum terjadi.

Mengapa bisa demikian?. Karena saat itu anda sedang berada pada orbit jiwa yang tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Saat itu tidak ada lagi masa lampau dan masa yang akan datang. Yang ada adalah saat ini. Anda telah terlepas dari ikatan tubuh anda yang memiliki arah dan jarak. Sebab Jiwa anda bukanlah badan ini. Karena badan akan terikat oleh putaran bumi dan orbit matahari, sehingga dengan begitu terjadilah adanya waktu. Ada rentang waktu masa lalu dan masa yang akan datang. Sedang jiwa anda tidak begitu.

Demikianlah sekilas celah pemaknaan alternatif. Tujuannya tidak lain adalah agar kita bisa masuk kedalam keadaan jiwa orang-orang yang bertaqwa seperti juga yang dirasakan oleh orang-orang terdahulu.

Marilah kita berada didalam jiwa kita masing-masing. Mari kita berjalan mendekat kepada Allah, sehingga kita akan bisa merasakan petunjuk Allah dengan semakin jelas.

Tak lupa terantar terima kasih saya kepada Bapak H. Slamet Utomo dan Ustadz H. Abu Sangkan, yang dari dada-dada Beliaulah saya sekarang bisa hidup dengan lebih berarti.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…

Wassalam,
Oleh: Yusdeka
Cilegon, Banten.





Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.