Alkhusyu - Astrie Feizaty Ivo pada dekade
1980 namanya tidak asing sebagai artis dan memulai karirnya sebagai penyanyi
cilik, karena ibunya Ivo Nila Kreshna juga seorang penyanyi ternama di era
1960-an. Wanita yang akrab di panggil dengan nama Aci ini, menikah dengan
Dariola Yusharyahya dan melahirkan tiga putra, Arighi Yusharyahya, Adrio Faresi
dan Riedo Devara.
Beberapa tahun terakhir ini Aci
yang yang merupakan alumnus sebuah universitas di Jerman ini, lebih banyak menjadi presenter di
berbagai acara acara keagamaan. Hal ini dilakoninya seiring dengan kesadarannya yang kian
mendalami ilmu agama Islam. “Jadi Sekarang waktu utama saya mendidik anak,
menjadi ibu. Dan waktu luangnya saya gunakan dengan menjadi public speaker
pendidikan anak, bagaimana supaya orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan
Al Qur’an.” Papar wanita berdarah Minang dan Aceh ini, saat ditemui di rumahnya
di kawasan Bintaro, berikut petikan bincang bincang degan Astri Ivo:
Seperti apa mendidik anak sesuai
dengan Al Qura’an?
Banyak orang tua mendidik anak-anak tidak seimbang,
hanya konsen dengan tumbuh-kembang fisiknya, kecerdasan intelektualnya, tapi
tidak terlalu konsen dengan kecerdasan spiritualnya. Anak-anak di didik bisa
untuk shalat lalu selesai, bisa untuk puasa lalu selesai. Padahal sebenarnya
intinya bagaimana anak-anak bisa mengenal penciptanya. Jadi saya mengajak orang
tua, ayo kembali mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran Rasulullah. Kurikulum
pendidikan anak dalam Al Qur’an kan ada, seperti di surat Luqman misalnya. Orang
tua itu sebenarnya tidak diwajibkan oleh Allah mendidik anaknya mahir di segala
bidang, tapi diwajibkan oleh Allah untuk mendidik anak menjadi anak yang soleh
dan soleha. Karena kalo anak-anak kita menjadi anak yang soleh dan soleha maka
Allah akan mewariskan bumi beserta isinya.
Anak yang soleh-soleha itu bukan anak yang pintar
ngaji, tapi anak yang kenal Allah, kenal dengan Nabinya, keluarganya, dengan
para sahabat, dan bertingkah laku seperti yang Allah mau. Kan kalau sekarang
fenomenanya yang kita lihat, mereka sekolah Islam, dari keluarga Islam, tapi
kehidupannya jauh dari Islam.
Tapi kan jarang terdengar orang
tua ingin anaknya bercita cita jadi orang sholeh?
Saya yakin orang tua ingin anaknya soleh dan soleha,
cuma cara mendidiknya yang salah, paradigmanya salah. Begini kalau ditanya Anda
sejak kapan menjadi manusia? Biasanya akan dijawab sejak saya lahir. Nah
manusia itu dimensinya ada dua, manusia ambasyariah dan manusia ruhaniah,
Manusia adalah ruh, tubuh hanya cangkang. Jadi informasi ini kita harus tahu,
supaya kita punya paradigma yang jelas. Karena kalo kita menjawab diri kita
manusia sejak kita lahir, itu paradigma materialistik jadi kita memikirkan cuma
materi padahal ada dimensi yang lain yang lebih hakiki. Nah, ini yang harus di
informasikan kembali.
Sementara pendidikan sekolah
kita kan kiblatnya Barat yang pola berpikirnya matrealistik?
Barat itu ambil baiknya, barat itu kan Allah yang
menciptakan, barat itu kalau pola hidupnya, bukan pola beragamanya ya, sangat
Islami. Mereka punya etos kerja yang tinggi, sangat disiplin. Saya pernah
diundang oleh HUMIA (Himpunan Masyarakat Islam di Auckland, New Zealand). Itu
negara paling sedikit korupsinya, padahal sedikit sekali yang beragama Islam.
Anak-anak kita kalau jalan ditengah jalan itu terlindungi keamanannya, orang
kalau nyetir, ada zebra cross berhenti walaupun tidak ada yang menyeberang.
Terus apa yang salah di kita?
Mereka tidak kenal sama Allah nya, mereka tidak
mengerti apa yang mereka baca. Qur’an hanya dibaca secara ritual, tapi tidak
fungsional. Sehingga mereka tidak bisa ber-Qur’an dengan hidupnya, dia tidak
punya furqon, tidak punya pembeda mana yang bathil mana yang haq. Dia pikir,
kalau dia sudah shalat, sudah puasa dia boleh memakai baju seperti Lady Gaga
misalnya, seperti banyak anak-anak remaja kita itu. Itu karena orang tuanya
tidak mendidik dengan sungguh-sungguh, tidak mendidik dengan semestinya dan
tidak percaya diri dengan Qur’annya.
Jangan – jangan orang tuanya
sendiri juga tidak mengerti?
Karena itu saya mengajak para ibu, mengajak diri saya
sendiri pertama-tama untuk kembali hidup seperti Al Qur’an tuntun. Hidup harus
Islami, kita diminta Allah bukan hanya shalat dan puasa, kita harus jujur, harus shiddiq, anak-anak harus cerdas,
anak-anak harus fatonnah, harus tabligh, anak harus amanah, anak-anak harus
punya budaya malu. Rasulullah itu sangat pemalu, tapi jadi anak yang handal.
Jadi kecerdasan itu bukan hanya secara
spiritual, tapi intelektual, secara fisik, secara emosional, dan secara sosial.
Kelima kecerdasan ini harus dimiliki setiap kita, kalo kita sebagai orang tua
punya kecerdasan seperti ini, maka kita akan mendidik anak kita seperti itu.
Ok, apakah anda punya komunitas
jamaah tersendiri?
Sekarang saya memang punya komunitas, tapi saya bukan
ustadzah kalo al-ustadzah dalam Islam kan berarti professor, saya cuma ibu-ibu
yang ingin berbagi ilmu karena saya melihat banyak sekali pola pengasuhan yang
tidak sesuai dengan Qur’an. Saya pun belum 100% berhasil, saya pun masih
belajar, masih terus memperbaiki diri, karena awal-awalnya saya tidak mendidik
anak saya dengan Qur’an. Saya ingin anak saya cerdas, pintar, tumbuh-kembangnya
baik. Itu yang saya ingin ajak bagi para umat khususnya para muslimah untuk
mempersiapkan dirinya sebagai seorang ibu. Sedikit dari kita mempersiapkan
anak-anak kita menjadi seorang ayah, seorang ibu, banyak dari kita
mempersiapkan anak-anaknya jadi rektor, jadi dosen, jadi artis, jadi dokter
tapi sedikit yang mempersiapkan mereka menjadi orang tua.
Tadi Anda bilang awalnya tidak
mendidik anak dengan Al Quran, bagaimana kemudian timbul keinginan itu?
Bukan timbul keinginan, tapi baru paham. Kalau waktu
remaja saya baca Qur’annya kejar setoran, artinya cari pahala yang banyak,
kalau sekarang saya baca Qur’annya belajar memahami, supaya disayang oleh
Allah, itu saja intinya. Kita kata Nabi 0-7 tahun main bersama anak-anak,
akhirnya kita mendidik sambil bermain bersama anak-anak. Kalau 7-14 tahun harus
diadab, adab anak-anak, sehingga ketika
dia baligh 14 tahun keatas itu mereka sudah menjadi Amir, orang
kepercayaan kita. Jadi dulu saya mendidiknya bukannya salah, tapi tidak tepat.
Jadi dalam hal ini yang harus
dirubah apanya?
Mindset dan pahami Qur’an. Qur’an itu bisa menjadi
petunjuk, tapi petunjuk hanya untuk orang-orang yang bertakwa. Jadi intinya
mari kita memahami Qur’an dan sunnah.
Intinya ya iqra, kalau kita rewind lagi kenapa perintahnya iqra? Iqra itu kan
sering dipahami sebagai metode membaca Qur’an. Kenapa saya bilang anak pertama
beda pengasuhan dengan sekarang? Karena dulu 20 tahun yang lalu saya baca
Qur’annya, baru membaca. Tapi setelah anak pertama saya lahir, saya baru
belajar tahsin, pemahaman Qur’an. Ketika saya paham, masya Allah, subhanallah.
Ternyata hidup tak perlu dijalani dengan stress, karena kita yakin ada Allah
yang memberikan mahraj, Allah berfirman; kalau engkau bertakwa, Aku beri selalu
jalan keluar. Dan tidak hanya jalan keluar, tapi juga rezeki dari arah yang
kamu tidak sangka. Ada sahabat saya anak petani di Sumbawa, orang tuanya
sederhana, tapi S3-nya P.hd nya di ambil di Inggris. Siapa yang buat itu kalau
bukan Allah? Jadi kita memang harus bersungguh-sungguh, ikhtiarnya harus full
tapi jangan lupa do’a. Karena itu kita harus mendidik anak-anak harus kenal
dengan penciptanya. Kalau kita mendidik
anak-anak hanya cerdas secara intelektual maka kita akan sedih kita cuma
merawat monster-monster yang cerdas, dia pintar tapi tidak amanah.
Kadang yang terjadi anak di
rumah sudah diajar benar, tapi lingkungan tidak mendukung
Kalau mereka kenal dengan Allah, mau lingkungan
seperti apa akan ada remnya. Saya di didik orang tua saya, dari keluarga
seniman dengan pendidikan agama yang baik, orang tua saya mengajarkan ihsan.
Dulu saya kuliah di Jerman, kata ibu saya; kamu mau mengerjakan apapun
terserah, tapi kamu mesti tanggung sendiri. You must pay the risk. Kalau
kamu sanggup, go ahead. Tapi kalau kamu tidak sanggup, kamu pikirkan
kembali. Saya kuliah di Jerman, saya tidak berani meninggalkan puasa Ramadhan
padahal orang tua saya tidak ada, cuma karena saya tahu saya punya informasi;
satu hari kamu tinggalkan puasa Ramadhan tanpa uzur, seluruh hari dalam hidupmu
kamu bayar untuk Ramadhan itu tidak akan bisa. Meski saya tidak alim, karena
tahu informasi seperti itu, saya remaja, kuliah di Jerman saya tidak berani
meninggalkan hak-hak Allah dan juga hak-hak hambanya. Di Jerman itu kurang
bagaimana liberalnya, tapi kan tetap ada Allah.
Kenapa Anda sangat Fokus pada
masalah anak dan keluarga?
Karena negara yang maju itu datang dari keluarga yang
maju, keluarga yang taat. Jadi saya ingin setiap rumah kaum muslimah dan
muslimin itu rumah yang ada internalisasi rukun-rukun Islam, tegak rukun-rukun
Islam dalam rumah itu, ada futuh hassanah disitu, kita sangat memahami bahwa
hidup kita ini berpusat kepada Allah. Kalau dalam satu rumah tangga, seorang
muslimah bisa menegakkan hukum Islam maka tidak perlu ada negara Islam, karena
hidupnya pasti Islami. Jadi semua datang dari keluarga, pembentukkan, ketahanan
keluarga itu sangan penting. Dan keluarga itu sangat strategis di kehidupan
kita. Itu sebabnya saya tidak mengajarkan fikih, saya bukan ahlinya tapi saya
mengajak para ibu khususnya dan perempuan umumnya untuk mempersiapkan diri
menjadi istri, menjadi ibu.
Jadi agama tidak hanya retorika
saja?
Tidak retorika dan ritual, akibatnya lihat saja yang tawuran, geng motor, dan korupsi itu banyak orang
Islam. Tapi kalau mereka mengenal Allah-nya, saya yakin mereka tidak akan
melakukan itu, dan negara ini tidak akan seburuk itu. Negara akan lebih maju.
Saya ingin Indonesia ini, negara yang benar-benar mendapat ampunan, mendapat
keberkahan. Jadi kalau negara kita mau maju, sumber daya manusianya dulu yang
harus di perbaiki. Dengan pendidikan gama yang baik, ilmu apapun, kecerdasan
apapun yang mereka miliki akan muncul potensinya. Dan saya tidak putus asa,
saya yakin Indonesia suatu saat akan seperti itu. Kalau perempuan Indonesia ini
memahami bahwa kewajiban utama kita adalah menjaga diri kita dan anggota
keluarga kita semua.
Kenapa Anda tidak mendirikan
sekolah saja?
Kalau mendirikan sendiri memang belum ada dana yang
cukup dan sumber daya yang cukup. Jadi bersinergi dengan para guru. Misal,
guru-guru kita punya pesantren, pembangunannya kita support, anak-anaknya kita
jadikan anak asuh. Atau ustad asuh, ustad asuh ini mereka berdakwah di
tempat-tempat terpencil di pulau Jawa, itu mereka harus naik turun gunung jadi
kita support, kita urunan sama seluruh ibu-ibu belikan mereka motor. Atau kita
urunan, supaya tetap tinggal di desa, tapi karena dia punya istri dan punya
anak, orang-orang desa tidak bisa membayar dia, kita yang support dia dari
Jakarta untuk kebutuhan hidupnya, misalnya.
Atau
sekarang ini ada seorang kiyai besar mengajak saya, anaknya baru lulus dari
Yaman untuk mendirikan muslimah center. Jadi kalau tentang pendidikan saya
sangat semangat. Sekarang ini kyai Nur Muhammad Iskandar itu, anaknya baru
lulus dari Yaman dia bilang, “ummi, ayo bikin sama anakku sekolahan. Ummi itu
termasuk potensi ummat buat muslimah. Kamu itu ilmunya tidak boleh untuk
segelintir orang. Kamu harus buat suatu lembaga pendidikan.” Saya mengiyakan,
tapi belum tahu kapan realisasinya. Tapi kalau untuk pendidikan yang umum ada
tapi bukan milik saya milik ummat, selain itu kita juga bekerja sama dengan
yayasan-yayasan. Rafles Rasyidin
Posting Komentar