Alkhusyu - Tatkala NAbi
Ibrahim berkontemplasi di alam terbuka, Ia dapat banyak ilmu tentang Kehidupan
dan ilmu tentang Ketuhanan. Hal yang sama juga dilakukan oleh semua Nabi dan
Rasul Allah sebelum dan sesudah Beliau, begitu juga wali-wali Allah dari zaman
dulu sampai dengan sekarang ini. Bahkan penemuan berbagai ilmu pengetahuan
dari masa kemasa pun bermunculan ketika ada orang-orang yang dengan telaten
bersedia melakukan kontemplasi baik di alam terbuka yang maha luas ini (makro
kosmos) maupun dialam renik yang maha kecil (mikro kosmos).
Walau zaman
mereka berbeda-beda dan jenis temuannya juga sangat beragam sekali, namun ada
satu hal yang sama yang dilakukan oleh seluruh Nabi, Rasul, wali-wali Allah,
dan para penemu ilmu pengetahuan itu. Ya… satu hal yang sama. Yaitu membaca
ilmu tanpa buku. Iqraa.
Mari kita
lihat sejenak jejak unik Nabi Ibrahim di dalam Al Qur’an dalam mengenal Allah.
Dalam kontemplasi Beliau yang dalam dialam terbuka, Beliau sempat
mempertuhankan bintang-bintang, lalu bulan, lalu matahari, sebelum akhirnya
Beliau berhasil mendapatkan kepahaman yang tepat dan benar tentang Tuhan Yang
Hakiki, yaitu Allah. Artinya, Al Qur’an
sendiri telah memberikan sebuah contoh terlalu sederhana tentang betapa seorang
Ibrahim pun pada mulanya adalah seorang yang tidak mengenal Allah dengan tepat
dan benar. Akan tetapi saat Beliau dengan telaten duduk berkontemplasi di alam
terbuka membaca ilmu tanpa buku, maka hasilnya menjadi sangat lain. Hasilnya
adalah sebuah agama fitrah yang tetap abadi sampai sekarang.
Tradisi
membaca ilmu tanpa buku itu berlanjut kepada Nabi Muhammad. Diawal-awal Beliau
menerima Risalah kenabian, selama berbilang hari Beliau berkontemplasi di Gua
Hira. Siang malam Beliau memandang langit tanpa atap, memandang bintang-bintang
yang berdenyut, memandang senyuman bulan yang misterius, memandang gumpalan
awan yang berarak kesana-kemari, memandang hamparan cakrawala luas tak bertepi.
Dahsyat sekali sebenarnya. Sampai suatu saat, dipuncak kontemplasinya, Beliau
didatangi oleh Malaikat Jibril yang diperintahkan oleh Allah untuk mengajari
Beliau cara belajar membaca ilmu tanpa buku.
“Iqraa ya
Muhammad…, bacalah ya Muhammad..”, kata Jibril dengan lembut kepada Beliau.
“ Maa ana bi
qarii…, saya tidak bisa baca”, jawab Beliau dengan terheran-heran.
Beliau heran
dan bingung saat disuruh membaca oleh Malaikat Jibril. Karena ketika disuruh
membaca itu, kok nggak ada bukunya. Mau membaca apa? Sampai tiga kali Beliau
disuruh oleh Jibril untuk membaca. Dan tiga kali pula Beliau menjawab bahwa
Beliau benar-benar tidak bisa membaca tulisan apa-apa. Karena memang tidak ada
buku yang tergelar dihadapan Beliau saat itu untuk Beliau baca. Tambahan lagi,
entah benar entah tidak, menurut catatan sejarah Beliau tidak bisa tulis baca.
Yang pasti saat itu Beliau benar-benar berada pada posisi Ummi. Sebuah posisi
jiwa dan pikiran yang menjadi prasyarat mutlak untuk bisa membaca ilmu tanpa
buku.
Kemudian
Jibril memberitahu Nabi cara membaca ilmu tanpa buku:
BACALAH
dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan…
Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah…, dan seterusnya…
DERR…, dan selama beberapa hari berikutnya Beliau dialiri oleh getaran
iman yang membuat tubuh Beliau seperti menggigil kedinginan. Begitulah yang
terjadi di hari-hari berikutnya selama bertahun-tahun lamanya. Adakalanya
setiap Beliau membaca ilmu tanpa buku itu, Beliau menggigil, kadangkala Beliau
Bergetar, tempo-tempo Beliau seperti tidur mendengkur halus, atau bisa pula
Beliau mengalami sebuah mimpi yang jelas dan terang benderang tentang sesuatu
pengajaran. Dan hasilnya adalah sebuah kitab kehidupan yang sangat luar biasa,
yaitu Al Qur’an, serta aktualisasi pengamalan Al Qur’an itu yang kemudian
dibukukan oleh para sahabat Beliau, setelah Beliau wafat, berupa As Sunnah atau
Al Hadist.
Disisi ilmu pengatahuan alam, penemu listrik, Thomas Alfa Edison, juga
tidak pakai buku ketika dia berhasil menemukan fenomena kelistrikan. Dia hanya bermodalkan
mainan layangan ditengah lapangan. Dia menemukan realitas kelistrikan karena
ada petir. Benang layangannya menyala saat ada petir, sehingga dia pun berkata
aha…, eureka…. Berikutnya dia melakukan ratusan kali pengamatan tentang
fenomena kelistrikan itu dengan menggunakan benang karbon. Pada awalnya dia
malah dianggap sebagai tukang sihir, karena dia melakukan pengamatannya itu
didepan umum. Walaupun dilecehkan, dihina dan sering gagal dalam percobaannya,
namun dia tetap dengan penuh gairah melakukan pengamatan dan percobaannya.
Sampai pada akhirnya, hasil kontemplasi Thomas Alfa Edison itu telah menjadi
sebuah karya yang monumental dan abadi, lampu listrik.
Sedangkan
kita, terutama mayoritas umat Islam di berbagai penjuru dunia, atau bangsa
Indonesia ini khususnya, tidak begitu. Kita lebih banyak mengaji, membaca, dan
menghafal BUKU-BUKU. Kita tidak lagi suka melakukan kontemplasi di alam terbuka
membaca kitab kehidupan yang tergelar luas dihadapan kita. Kita lebih senang
membaca dan mendengarkan ilmu dari buku dan buku. Selalu saja buku dan buku.
Dan hasilnya, kita telah menjadi orang-orang yang berilmu tapi juga sekaligus
berpikiran sempit. Sesempit ilmu yang hanya sebatas isi lembaran-lembaran buku,
yang tentu saja membuat kita terseok-seok berhadapan dengan kompleksitas
kekinian kehidupan yang menyata dan mengada.
Contohnya
tidak usah yang rumit - rumit. Disekolah-sekolah, dari yang tingkat dasar
sampai tingkat tinggi, memang ada ilmu elektronika dibahas, dihafal, diujikan
dengan sangat detail. Tapi semua itu adalah ilmu yang sudah ada dan malah sudah
basi dan tidak terpakai lagi. Akibatnya kita tidak pernah mendapatkan hal-hal
yang baru dalam ilmu elektronika itu. Tahu-tahu kita terkejut dengan fenomena
NKIA, BB, APPL, SAMS…, dan sebagainya. Akhirnya kitapun tumbuh menjadi bangsa
yang suka kagetan dan suka mengekor saja kepada hasil berbagai temuan orang
lain dari berbagai penjuru dunia.
Begitu juga
dengan cara kita beragama. Gara-gara adanya ribuan buku agama yang mengupas
ayat al Qur’an dan Al Hadist dengan sangat dalam oleh berbagai ilmuwan agama
Islam, maka buku-buku itu telah menghijab perjalanan rohani kita hanya sebatas
kalimat-kalimat didalam buku-buku itu. Padahal fungsi buku-buku itu sebenarnya
hanyalah sebatas ilmu yang akan menunjukkan kepada kita arah yang harus kita
lalui. Buku-buku itu bukan untuk dicari berkahnya, bukan untuk dibahas dan
dihafalkan bab per bab. Tidak. Jadi untuk memahami agama Islam yang sangat
sederhana dan mudah ini kita tidak perlu harus belajar berlama-lama sampai
s1-s2-s3-s4, profofesor, dan sebagainya. Terlalu lama. Soalnya boleh jadi umur
kita ini besok sudah habis. Sementara kita belum mengamalkan ilmu-ilmu yang
kita hafalkan itu sampai mendapatkan hasilnya sampai benar-benar MENJADI apa
yang diinginkan oleh ilmu itu sendiri. Bukan hanya sekedar mengamalkan lalu
kita berutopia di alam mimpi.
Jadi,
artikel singkat ini hanyalah untuk memberikan sedikit ruang berpikir yang tidak
biasa bagi siapa yang mau. Yaitu agar kita mulai mau membaca ilmu tanpa buku.
Agar kita sering-sering melakukan kontemplasi dialam terbuka. Seperti yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim dulu dengan jalan mengamati patung-patung, bulan,
matahari, bintang-bintang, sehingga pada akhirnya Beliau mendapatkan ilmu
tentang Allah yang sebenarnya. Nabi Muhammad menemukan ayat-ayat Al Qur’an
ketika beliau berkontemplasi di Gua Hira. Malah ketika Beliau melanjutkan
kontemplasi Beliau dialam terbuka, ditengah-tengah masyarakat, ditengah-tengah
riuh rendahnya kehidupan, Beliaupun bisa menemukan benang merah yang
menghubungkan alam kehendak, alam penciptaan, alam aktifitas, serta alam reward
dan punishment mulai dari awal yang tiada awal sampai ke akhir yang tiada
akhir. Rangkaian utuh pengalaman Nabi Muhammad dan para sahabat Beliau itu
kemudian menjelma menjadi ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist.
Jejak-jejak Al Qur’an dan Al Hadist ini menunjukkan kepada kita bahwa
kalau kita ingin Belajar tentang Ilmu kehidupan, maka belajarlah dengan cara
tanpa memakai buku pula. Belajarlah dengan cara berkontemplasi, Iqraa di alam
terbuka. Tinggalkanlah ruangan kelas sesering mungkin. Karena dinding-dinding
ruang kelas itu akan menghalangi keluasan pikiran dan perasaan kita.
Dinding-dinding masjid sekalipun akan bisa menghalangi kita dari membaca kitab
kehidupan yang sedang tergelar didepan mata dan telinga kita.
Begitu juga dengan lembaran- lembaran buku, tutuplah…., setelah kita
baca sejenak dan kita tahu maksud yang terkandung didalam buku tersebut.
Kemudian kita lakukan prakteknya sampai kita temukan sendiri buku kehidupan
kita dikekinian zaman. Lembaran buku-buku itu cukup hanya kita pakai sebagai
landasan awal tempat berpijak kita saja dalam melangkah. Just do it. Jadi tidak
perlu kita hafalkan. Ia cukup kita pahami saja.
Selamat
mencoba…Salam…(Deka)
Posting Komentar