Alkhusyu - Esa adalah
pengakuan hamba terhadap keesaan Allah SWT tertuang dalam kalimat tauhid Laa
ilaaha ilallah, yang berarti tidak ada sesuatu (tuhan) yang berhak disembah
kecuali Allah.
Dikisahkan
dalam Hadis Riwayat Bukhari, dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada
Mu’adz bin Jabal ra,
“Jadikanlah
perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah
“.
Satu sikap
penting dalam ibadah shalat adalah pengesaan seorang hamba akan Allah sebagai
satu-satunya Tuhan yang disembah. Ungkapan ini dirangkum dalam dua kalimat
syahadat yang selalu dibaca ketika dalam posisi tasyahud; baik tasyahud awal
atau pun pada tasyahud akhir.
“Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit,
lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal
kamu mengetahui “.
(QS. Al Baqarah [2]: 21-22).
Definisi ESA
(tauhid) menurut bahasa adalah mengetahui bahwa sesuatu (Tuhan) itu satu.
Sedangkan secara umum, tauhid dipahami sebagai pengesaan Allah SWT. Agar dalam
mengabdi kepada-Nya tidak menduakan-Nya.
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan satu jua pun dalam beribadat
kepada Tuhannya. “.
(QS. Al Kahfi [18]: 110).
Pengesaan
yang diungkapkan dengan kalimat Laa ilaaha ilallah (Tidak ada sesuatu
yang kita cintai atau kita sembah selain Allah); dalam hal ini bisa saja berupa
anak kita, pasangan hidup kita, ataupun pangkat, jabatan, materi berlimpah,
maupun hobi, dan lain sebagainya, yang kemudian menghantui dan menguasai
pikiran kita.
Rasulullah
diutus Allah, untuk memperbaiki kembali tatanan kehidupan manusia dalam
berketuhanan dan menyempurnakan syariat sebelumnya. Karena sepeninggal para
nabi sebelumnya, masyarakat telah banyak merubah konsep ketuhanan yang murni (hanif)
menjadi menuhankan para pendeta, rahib-rahib, bahkan menuhankan para nabi sang
pembawa risalah. Masalah ini telah terungkap dalam Al qur’an:
Mereka
itu menjadikan rahib-rahib dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah ... [QS. At Taubah [9]:31)
Manusia
menjadikan sesembahan selain Allah, dan mereka mencintai Tuhan seolah seperti
mencitai Allah. Sedangkan orang-orang mukmin mencitai Allah lebih dahsyat lagi
.... [QS. Al Baqarah
[2]:165)
Kemudian
Alqur’an meluruskan kembali dengan menurunkan surat Al Ikhlas, qul huwa
Allahu ahad, Allahu ash shamad,.......
Keberhasilan
Rasulullah untuk menciptakan kondisi kemurnian spiritual masyarakat Arab,
ditandai dengan pembersihan berhala-berhala yang disimpan di dalam Ka’bah.
Langkah ini menandakan agama tauhid telah tegak kembali. Sehingga didalam
shalat, seorang hamba menyerahkan dirinya dengan tertuju langsung kepada Allah
tanpa perantara. Sebagaimana didalam sebuah doa iftitah diungkapkan;
Inni
wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamawati wal ardh, hanifan musliman wama ana
minal musyrikin, inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbail
‘alamin.
Aku hadapkan
wajahku kepada Wajah Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi dengan lurus
sebagai orang yang berserah diri dan tidak menyekutukan-Nya. Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Sekalian Alam.
Konsep ini
telah menjadi baku didalam ajaran Islam sampai sekarang. Oleh karenanya, Allah
sangat keras ancamannya bagi orang yang melakukan dosa syirik (menyekutukan
Allah). Hal ini untuk menegaskan bahwa Tuhan Sang Pencipta Alam semesta
hanyalah satu adanya (monoteisme). Islam tidak mengakui dan menolak adanya
perantara didalam beribadah shalat maupun berdzikir kepada Allah. Sehingga
shalat merupakan ibadah yang sangat individual, walaupun dilaksanakan secara
berjamaah.
Ketauhidan ini (mengesakan Allah) sangat penting dipelajari. Sebab jika
tidak, arah spiritual seseorang akan terjebak kedalam spiritual yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan sehingga tersesat. Ketika ruhani seseorang mencari
Tuhan, kemudian menemukan pendapat bahwa Tuhan adalah seorang laki-laki atau
berwujud manusia, maka ruhani sang pencari Tuhan tersebut akan mengarah kepada
persepsi apa yang dipikirkan. Apabila arah pikirannya berkonsentrasi kepada
benda-benda seperti lilin, suara musik, patung dan lain-lain, maka jiwanya
berhenti kepada benda-benda yang dipikirkan dalam samadinya.
Sebagaimana
seseorang yang sedang mencintai sebuah benda, misalnya mobil. Pikiran dan
jiwanya pasti akan selalu teringat mobil tersebut, dan jiwanya tidak bisa
keluar dari apa yang dipikirkan. Akan tetapi apabila seseorang yang mengarahkan
jiwanya kepada yang bukan benda, yaitu Zat Mutlak Penguasa Alam Semesta, maka
jiwa akan menembus dan meluas tak terbatas melampaui ruang dan waktu.
Pikiran
manusia tidak mampu menghayalkan wujud Tuhan, karena mata tidak pernah
melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkan suaranya. Sehingga otak kita
tidak pernah menerima informasi melalui reseptor indria kita. Ketika indria manusia
tidak memberikan informasi tentang keadaan
Wujud Tuhan, maka otak tidak akan
bergetar memberikan persepsi tentang Tuhan. Akan tetapi kalau kita bertuhan
dengan perantara benda-benda, indria kita akan memberikan informasi kepada otak
melalui neurotransmiter dan disimpan dalam memori otak. Sehingga setiap kali
mengingat Tuhan, pasti yang bergetar adalah impuls listrik pada temporal lobes.
Inilah yang
diyakini oleh Michael Persinger sebagai Titik Tuhan (God Spot). Dalam
penelitiannya, seseorang yang sedang membicarakan Tuhan atau mendengarkan
tentang ketuhanan maka temporal lobes-nya akan bergetar. Persinger lalu
tertarik untuk menciptakan ruangan laboratorium spiritual untuk membantu orang
yang ingin menggetarkan titik Tuhan dalam otaknya. Caranya dengan membuat alat
ukur elektromagnetik scranial yang ditempelkan pada otaknya agar ia bisa
berjumpa
Tuhan. Penelitian ini telah menghebohkan dunia spiritual klasik yang
dilakukan para sufi dan ahli ketuhanan murni. Karena pendapat Persinger ini
justru mengaburkan nilai ketuhanan Islam yang tidak bisa dipersepsikan oleh
otaknya. Menurutnya, siapapun bisa berspiritual tanpa harus beragama formal.
Karena itu spiritual yang dikembangkan oleh Persinger adalah spiritual digital,
yang berasal dari getaran otak yang berspiritual dengan perantara benda-benda.
Sehingga benda-benda (berhala) itulah yang menggetarkan impuls listrik pada
temporal lobes si penyembah berhala yang dikirim melalui reseptor mata dan
telinga. Berbeda dengan penyembah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan yang tidak
bisa ditangkap oleh reseptor mata, telinga, penciuman sehingga temporal lobes
pada otak tidak bergetar.
Kerancuan ini menjadi masalah baru didalam berketuhanan, dan merusak
tatanan agama formal sehingga semua agama sama, atau berspiritual tidak harus
berketuhanan. Maka semakin jelaslah, bahwa “keesaan” Allah menjadi kabur akibat
pemahaman persepsi yang salah, karena konsep spiritual yang dikembangkan
adalah spiritual digital. (Abu Sangkan)

Posting Komentar