Alkhusyu -
Pertanyaan:
Pertanyaan:
Ustadz Abu Sangkan yang saya
hormati. Saya adalah seorang awam yang menganut thariqah (aliran sufisme)
tertentu. Sabagai anggota thariqah, saya pernah menjalankan ritual baiat
(sumpah dan janji setia) di hadapan sang mursyid (guru thariqah). Salah satu
mukaddimah baiat yang telah saya lakukan adalah mengucapkan satu ayat dari
surah Qaf; wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil warid (dan Kami lebih dekat dari
pada urat lehernya). Yang ingin saya tanyakan, adakah korelasi antara redaksi
surah Qaf yang saya baca dengan konten ajaran sufi (tasawuf)? Bagaimana
pandangan ustadz tentang thariqah, mursyid dan tasawuf?
Budi Santoso dari Batam
(BudiS@thmulti.com.sg)
Jawaban:
Redaksional ayat “wa nahnu
aqrabu ilaihi min hablil warid (dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya)”
memang sangat berkolerasi sekali dengan ajaran tasawuf yang mengedepankan
kedekatan seorang hamba dengan Rab-nya. Ayat dari surah Qaaf tersebut
senada dengan ayat berikut.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Pada ayat pertama, Allah
menyatakan diri-Nya “dekat”, sedangkan pada ayat kedua terdapat isim tafdhil, yakni
salah satu bentuk struktur kalimat Arab untuk menjelaskan sesuatu lebih dari
yang lain atau “lebih dekat”. Maksudnya Tuhan “berada” setelah Anda mengetahui
hakikat diri; siapakah diri ini sebenarnya? Bagaimana kita akan tahu tempat
Allah sementara kita saja belum paham tentang diri sendiri? Tentu saja, kalau
kondisi kita seperti itu, tidak selaras dengan ajaran sufi yang menyatakan, “Man
`arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu; barang siapa yang mengetahui dirinya,
pasti dia akan mengetahui Tuhannya”
Kalimat “Aqrabu min hablil
warid” memberikan pengertian bahwa Allah ada di atas hakikat diri manusia,
bukan dalam hati manusia, juga bukan dalam jiwa manusia. Namun dia ada di dalam dan di luar sekaligus. Dia meliputi
segala sesuatu (baca QS. Fushilat; 54).
“Ingatlah bahwa Sesungguhnya
mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah
bahwa Sesungguhnya dia Maha meliputi segala sesuatu.” (QS. Fushilat; 54)
Jadi untuk memandang Allah atau
menyebut nama-Nya, jangan keliru dan salah mempersepsikannya. Jangan sampai ada
anggapan kita bahwa Allah seolah-olah sedang bersemayam di dalam rongga dada
manusia, masuk dan lebur di dalamnya.
Tentang thariqah menurut
saya, sah-sah saja, asal tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah. Saya setuju berthariqah. Tapi jangan sampai kita menklaim bahwa thariqah
adalah satu-satunya jalan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai kita
mengatakan bahwa yang tidak ikut thariqah tertentu tidak akan diterima
Allah amalnya. Yang arif dan bijaksana adalah kita menjadikan Al-qur’an dan
As-Sunnah sebagai sandaran utama kita.
Mengenai mursyid (guru
spiritual dalam thariqah), selama Anda tidak menganggapnya sebagai
penghubung ruh Anda atau wasilah menuju Allah, tentu itu boleh saja.
Sepanjang mursyid Anda ajarannya selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah,
Anda berhak menjadikan dan memposisikan ia sebagai anutan sejati.
Saya sarankan kepada Anda, jangan
juga sampai berlebihan dalam menyikapi sang guru hingga Anda menkultuskannya,
baik dalam kondisi sadar maupun tidak. Sebab menkultuskan selain Allah itu
bagian dari perbuatan dosa syirik (menyekutukan Allah). Saat Anda
berzikir, jangan sampai Anda membayangkan sang guru (mursyid). Hilangkan
atau nafikan siapa saja selain Allah.
Posisi mursyid tak lebih
dari sekedar manusia biasa yang mengemban amanah membina jamaahnya agar dapat
beribadah dengan baik dan benar. Bila mursyid berlaku lurus, maka
perannya adalah sebagai pewaris risalah para Nabi. Para Rasul merupakan abdi
Tuhan dan pemberi peringatan, bukan pemberi hidayah. Ingat, seberapa pun
kuatnya tekad Nabi kita Muhammad mendakwahi paman kesayangannya AbuThalib,
namun akhirnya Beliau tak kuasa mengislamkannya. Begitu pula seorang Nabi Nuh
as yang tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya yang kafir. Cerita ini dapat
Anda simak lebih dalam lagi di QS. Al-Qashash ayat 56.
Karena itu, kita harus
menggarisbawahi bahwa hak kita hanya berupaya mendoakan terbukanya pintu
hidayah. Selanjutnya, serahkan semua urusan kepada-Nya. Sebab, Dia-lah Sang
Pembuka hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Memberi hidayah adalah
hak mutlak (preogratif Sang Khalik (Sang Maha Pencipta).
Alangkah baiknya Anda menyimak
kembali bacaan surah Al-Fatihah yang biasa dibaca dalam shalat sehari-hari.
Secara substansial, surah Al-Fatihah sangat sarat dengan nilai-nilai
akidah dan keyakinan. Misalnya saja, dalam redaksional kalimat ihdinash
shiraathal mustaqim; tunjukkan Kami jalan yang lurus, mengandung ajaran
asasi tauhid. Artinya, Allah-lah Sang Pemberi Hidayah yang menuntun kita
ke jalan yang lurus.
Menurut saya, thariqah yang
paling tertinggi adalah thariqah Nabi Muhammad saw. Seluruh ajarannya
sempurna dan paripurna, tak ada sedikit pun kekurangannya. Ibadah shalat yang
merupakan salah satu syariat yang diajarkan Rasulullah saw adalah ajaran thariqah
tertinggi dan sempurna. Tak ada satu pun thariqah lain di dunia ini
yang mampu menandingi thariqah shalat.
Posting Komentar