Al khusyu-Karena ada hati yang disifati hidup dan sebaliknya maka
keadaan hati dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, hati yang sehat
yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat
kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagai- mana firman Allah;
Sedang yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melaku- kan penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam berhukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharapan pada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun.
Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, ja- nganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf berkata, "Tidaklah suatu perbuatan betapa pun kecilnya kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?"
"(Yaitu) di hari
harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 88-89).
Disebut qalbun salim (hati yang bersih, sehat) karena sifat
bersih dan sehat telah menyatu dengan hatinya, sebagaimana kata Al-Alim,
Al-Qadir (Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa). Di samping, ia juga merupakan lawan
dari sakit dan aib. Orang-orang berbeda pendapat tentang makna qalbun salim.
Sedang yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melaku- kan penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam berhukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharapan pada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun.
Dan inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh
ditujukan kecuali kepada Allah semata. Jadi, qalbun salim adalah hati yang
selamat dari menjadikan sekutu untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya
mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak,
cinta, tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut),
raja'(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata.
Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah. Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah,
Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah. Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah,
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya."
(Al-Hujurat: 1).
Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, ja- nganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf berkata, "Tidaklah suatu perbuatan betapa pun kecilnya kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?"
Maksudnya, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu
melakukannya? Soal pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi atau
yang mendorongnya; apakah ia bertujuan jangka pendek untuk kepentingan
pelakunya, bertujuan duniawi semata untuk mendapatkan pujian orang atau takut
celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci ataukah moti- vasi perbuatan
tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari kecintaan dan
kedekatan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta'ala dan mendapatkan wasilah (kedekatan)
dengan-Nya.
Inti pertanyaan yang pertama adalah apakah kamu melaksanakan
perbuatan itu untuk Tuhanmu atau engkau melaksanakannya untuk kepentingan dan
hawa nafsumu sendiri? Sedang pertanyaan yang kedua merupakan pertanyaan tentang
mu taba'ah (mengikuti) Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam soal ibadah
tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan itu termasuk yang disyariatkan
kepadamu melalui lisan Rasul- Ku atau ia merupakan amalan yang tidak Aku
syariatkan dan tidak Aku ridhai?
Yang pertama merupakan pertanyaan tentang keikhlasan dan
yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa
Sallam, karena sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan pun kecuali
dengan syarat keduanya. Jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan pertama
adalah dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari
pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutaba'ah, selamatnya hati dari
keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang mutaba'ah. Inilah
hakikat keselamatan hati yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan.
(Dinukil dari kitab Manajemen Qolbu Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Posting Komentar