Al khusyu-Uzlah
kan mengasingkan diri ke gua atau gunung, tapi kenapa Kampung Bersih Hati
ber-uzlah di tengah kota?
Jadi jiwa kita selalu merasa dipantau Allah selama tiga hari penuh, 24 jam terus berturut turut tidak boleh putus. Dan selalu berzikir tidak putus putus, maka disitu cahaya makin lama, makin meluas didada kita, insaraha wa fasaha, akan terasa lapang disitu, rasanya tenang. Baru hari pertama sudah tenang, hari kedua makin tenang, hari ketiga semakin dalam. Orang seperti inilah yang dipenuhi hatinya oleh cahaya yang Maha Haq sehingga menjadi manusia-manusia yang jernih hatinya, manusia-manusia spritual yang mengisi kampung kita.
Untuk
mencapai target satu kampung itu bersih hatinya, tidak mungkin hanya sekedar
ilmu yang kita bahas, tetapi ini sudah masuk wilayah praktis, dimana kita harus
melakukan suatu riyadha atau latihan-latihan pembersihan hati. Selama tiga hari
berturut-turut, kita akan membedakan ketika memisahkan diri dari dunia ini
untuk sesaat atau sementara, dengan adanya bersih hati ilham bisa masuk, cahaya
Allah akan masuk membimbing.
Dalam surah
An nur 35 dijelaskan bahwa; “Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti
sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu
di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun
yang tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis) Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Jadi cahaya
Allah akan membimbing hati manusia yang bersih sehingga mencapai ketakwaan.
Hal ini tidak hanya sebatas kepada ilmu saja, lepaskan dulu ikatan-ikatan dunia
selama tiga atau beberapa hari, yang penting kita punya waktu untuk latihan
riyadha.
Semua
ditinggalkan dulu, anak, istri, keluarga, pekerjaan ditinggalkan untuk beberapa
saat. Pertama yang diperbanyak zikir dalam satu hari penuh itu, yang kedua
melakukan shalat-shalat sunnah, yang ketiga melakukan latihan-latihan
pembersihan jiwa, melakukan perjalanan rohani. Perjalanan rohani itu mulai dari
pembersihan jiwa itu tadi lalu melakukan pendekatan pendekatan muraqobah dimana
kita mempraktekan kitab Madarijus Salikin Bab Tamakkun, melakukan pendekatan
pendekatan secara dawam, kontinyu, tidak terputus pada posisi maqam ihsan.
Jadi jiwa kita selalu merasa dipantau Allah selama tiga hari penuh, 24 jam terus berturut turut tidak boleh putus. Dan selalu berzikir tidak putus putus, maka disitu cahaya makin lama, makin meluas didada kita, insaraha wa fasaha, akan terasa lapang disitu, rasanya tenang. Baru hari pertama sudah tenang, hari kedua makin tenang, hari ketiga semakin dalam. Orang seperti inilah yang dipenuhi hatinya oleh cahaya yang Maha Haq sehingga menjadi manusia-manusia yang jernih hatinya, manusia-manusia spritual yang mengisi kampung kita.
Jadi wajib
melakukan latihan-latihan untuk pembersihan jiwa, karena tidak mungkin tanpa
latihan. Wajib dilakukan oleh yang seratus orang, apalagi sepuluh orang yang
jadi kader utama; harus melakukan perjalanan salik, mendekat secara spritual
kepada Allah itu intinya. Tanpa ada pembersihan jiwa kampung ini tidak akan
bersih, jadi kampung bersih hati wajib melakukan latihan-latihan pembersihan
hati.
Ini perintah
Rasulullah jika dalam suatu kaum itu terjadi suatu kejahatan yang sulit untuk
kita luruskan maka dalam sebuah hadits kita diperintahkan untuk uzlah. Uzlah
itu mengasingkan diri untuk meninggalkan dunia dan mendekat kepada Allah untuk
minta petunjuk, lalu kembali lagi untuk menyelesaikan masalah dikampungnya,
dinegaranya. Hal seperti ini dilakukan oleh Rasulullah sendiri dengan
bertahanuts di Gua Hira karena sudah kecewa dengan masyarakat yang sudah hancur
lebur dan setelah itu beliau kembali lagi untuk menyelesaikan masalahnya.
Ashabul Kafi juga lari ke gua disebebabkan masyarakat yang zalim, sehingga
akhirnya berubahlah negaranya, mudah mudahan ini juga begitu.
Kami uzlah
tapi dalam keramaian, tetap berada didalam kota, tetap ada di masjid. Jadi
uzlahnya di masjid, tidak di gunung. Tapi sunnahnya seharusnya di gunung
yang sepi di tempat lereng gunung-gunung
yang berbatu dan disitu ada air yang mengalir disisinya. Itu menurut sebuah
hadits sahi Imam Muslim. Imam Al Ghazali pun melakukan sunnah uzlah, semua
ulama ulama besar, tokoh-tokoh yang dipenjarapun meniatkan dirinya uzlah,
sehingga bisa menulis kitab di dalam penjara. Imam Syafi’i sampai sekarang
kitabnya masih ada, setelah sekian ratus tahun. Jadi uzlah itu menghasilkan
cahaya, bukan mengasingkan diri untuk
meninggalkan dunia lalu tidak kembali ke masyarakat.
Uzlah bisa
haram bisa wajib, yang ditakutkan orang itu yang haram; meninggalkan dunia,
kemudian tidak ada aktifitas dunia, meninggalkan dakwah, ini yang diharamkan.
Jadi yang halal, bahkan wajib untuk dilakukan adalah kembali ketengah kehidupan
ramai setelah membersihkan jiwa untuk meneruskan perjuangannnya. (Rafles
Rasyidin)
Posting Komentar