Halloween party ideas 2015

Al khusyu- Kejadian ini berlangsung di tahun 2007, siang itu sekitar 1000-an orang yang hadir di Graha Wisuda Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga terhening sejenak. Sang pembicara di atas podium tengah berusaha menahan haru sembari mengusap air matanya. Di atas podium Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc, tengah membacakan ucapan terima kasih kepada guru-­gurunya pada saat acara orasi ilmiah dalam rangka pengukuhannya sebagai guru besar di IPB. Satu persatu guru yang sangat berjasa mulai dari guru TK, SD/SR-nya, SMP sampai perguruan tinggi, guru di pesantrennya hingga seniornya para tokoh / ulama terkenal bahkan supir pribadi­nya pun tak ketinggalan disebutkan.


Siapa tak kenal K.H Didin, yang tawadhu santun dan cepat akrab ini? Suami dari Ibu Nining Suningsih ini, dikenal sebagai ulama yang aktif menyeruka­n zakat, ekonomi syariah maupun perbanka­n syariah. Dan sekarang menjaba­t sebagai Ketua Umum BAZNAS sejak 2004.


Dari ekonomi syariah beliau mendapat pelajaran bahwa ilmu itu tidak boleh bebas nilai. Mengapa ekonomi sekarang menciptakan jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin? Karena sistem perekonomian yang dianut sekarang adalah sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme. Suatu sistem ekonomi yang hanya melihat keuntungan semata. Segala sesuat­u diuangkan dengan paradigma modal yang sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Menurutnya, ilmu modern termasuk ilmu ekonomi yang dipandang bebas nilai telah melahirkan egoisme dan kesombongan.

Berikut Bincang bincang Al Khusyu dengan K.H Didin seputar Zakat sebagai pembersihan jiwa, Di Universitas Ibnu Khaldun, dimana beliau menjabat sebagai direktur program Pasca Sarjana.

Selain membersihkan harta, apa zakat dan Infaq bisa membersihkan hati?

Kalau kita melihat surat At taubah tentang perintah zakat salah satu hikmahnya adalah; membersihkan harta, membersih­kan hati dan membersihkan jiwa. Jadi sebenarnya kalau orang harta­nya bersih sudah dikeluarkan zakatnya, dan cara mendapatkannnya juga denga­n cara yang halal, maka akan punya dampak pada kebersihan hati, kebersihan jiwa. Sebab kalau orang tidak pernah berzakat padahal dia sudah wajib, maka hatinya akan kotor, karena memakan kotoran kan. Kalau hartanya kotor maka hatinya juga akan jadi kotor, hasut, dengki, iri tidak pernah bersyukur, tapi kalau biasa membersihkan harta maka perilaku dan jiwanya juga akan bersih. Jadi zakat itu selain membersihkan harta, sekaligus juga membersihkan jiwa. Secara terminologisnya begitu.

Orang berzakat tapi kok tetap memiliki hati yang keras tidak punya rasa sosial?

Ada berbagai sebab karena orang berzakat itu tergantung pada niat, motivasi­nya dan juga tergantung pada hartanya. Jangan jangan harta yang didapatkannya kurang bersih, kemudian dia berniat nanti saya bersihkan dengan zakat, tentu itu implikasinya kurang maksimal terhada­p hatinya. Atau dia berzakat dengan asal asalan tidak ingin menyempurnakan. Karena yang namanya zakat itu harus maksimal seperti berinfaq, kalau sudah berzakat secara maksimal dan infaq dia lakukan insyaallah akan membersihkan hati akan menghilangkan berbagai penyakit dan kotoran.

Kalau orang shalatnya khusyu, benar dan baik, saya yakin perilakunya akan baik. Nah kenapa sekarang banyak orang shalat, ya korupsi, ya berdusta, berbohong. Karena shalatnya juga sekedar menunaikan kewajiban, tidak menjadikannya sebagai kebutuhan. Seperti kita butuh makan, kalau lapar, sudah waktunya makan kan kita cari makanan, kalau tidak makan kita akan merasa ada sesuatu yang kurang dan merasa lapar kan? Begitu juga harusnya shalat dan beribadah yang lain. Kenyataannya banyak orang beribadah, tapi tidak ada implikasi pada kehidupannya.

Jadi zakat juga menimbulkan rasa jujur?

Harusnya semua orang yang berzakat itu pasti memiliki sifat jujur, karena dia menghitung sendiri hartanya tanpa ada tekanan dari pihak yang lain, namun merasa khawatir kalau dia tidak jujur, masih tertinggal kotoran dalam hartanya. Saya yakin kalau orang benar ibadahnya akan ada implikasi positif, sekarang kenapa banyak orang beribadah, perilakunya begitu? karena memang tidak serius dengan ibadahnya, tidak serius dengan zakatnya, tidak serius dengan shalatnya, bahkan puasa juga melatih kejujuran. shalat pun melatih kejujuran, karena ada yang maha di atas kita. Zakat juga demikian, jadi harta ini hanya alat saja, bukan tujuan, tidak boleh kita menjadikan harta sebagai tujuan hidup. Jadi kalau secara konsep, semua ibadah dalam Islam itu melahirkan kebersihan, kejernihan hati dan kejujuran dalam hidup. Cuma realitasnya kan tidak begitu, untuk orang bisa jujur itu kan ada berbagai macam.

Misalnya orang bisa jujur karena takut pada sistem yang dibangun, orang biasa­nya jujur karena ada yang mengawas­i. Jadi kehidupan di masyarakat itu ikut menentukan, se-sholeh sholehnya orang secara pribadi dirumah, di masjid, ketika dia keluar rumah berhadapan dengan sistem yang tidak jujur, maka “hantu-­hantu” ketidak jujuran itu mengepung, sehingga kadang orang kalah secara pribadi. Oleh karena itu kejujuran itu tidak cukup hany­a dilakukan melalui pembiasaan shalat, puasa dan zakat dan ibadah yang lain. Tapi perlu juga sistem yang jujur di ba­ngun, perlu juga lingkungan dibangu­n, masyarakat dibangun sehingga merupakan suatu kesatuan.

Bagaimana dengan masalah kemiskinan?

Karena orang miskinnya memang banyak, dan tidak selalu dengan orang berzakat itu kemudian terjadi perubahan pada jumlah orang-orang miskin. Karena zakat itu kan di berikan secara konsumtif, tidak di organisir. Harusnya zakat itu berperan untuk mengatasi kemiskinan harus di orginisir dengan baik, harus punya database orang miskin itu dimana saja, berapa jumlahnya, apa yang harus dilakukan. Kan sekarang orang berzakat, berzakat saja, kalau diajak ke baznas atau lembaga itu susah, karena mereka merasa afdolnya zakat itu diberikan secara langsung, disam­ping itu peran pemerintah juga masih kurang dalam mendukungnya.

Lantas apa yang dilakukan Baznas untuk itu?

Kita melakukan empat hal, pertama sosialisasi, edukasi, pendidikan pada masyarakat bahwa zakat itu ibadah yang sangat penting, harus dilakukan, sanga­t berpengaruh pada etos kerja, pada etik­a kerja, tapi zakat itu harus disalurkan melalui amil yang amanah, siapapun amil yang amanah, supaya bisa dikoordinasikan dengan baik, disampaikan dengan baik, tepat sasaran pada orang yang berha­k menerimanya.

Ketika zakat dilakukan sendiri, banyak orang kaya yang mengumpulkan orang miskin di depan rumahnya, sampai ada yang meninggal. Akhirnya yang di bahas di media koran, televisi bukan zakatnya, tapi yang meninggalnya, akhirnya yang negatifnya yang muncul, bukan positifnya, kita kan sangat sedih melihatnya. Yang kedua penguatan ke-amilan, jadi amil zakat itu harus terpercaya, harus amanah, credible dan punya banyak waktu, tidak boleh amil zakat itu sekedar sampingan. Ketiga pendayagunaan, sehingg­a zakat itu betul betul bisa mencegah orang yang bodoh, menyehatkan orang yang sakit, memberikan lapangan pekerjaan. Yang keempat harus bersinerg­i, makanya kita bersinergi dengan semua pihak, para ustadz, kiyai dan ormas Islam.

Dengan situasi sekarang apa mungkin kita membangun ekonomi syariah?

Kita harus optimis untuk membangu­n ekonomi syariah ini, walaupun banyak tantangan dan waktunya lama. Tapi kita harus yakin, bedanya umat islam itu denga­n yang lain kan karena keyakinannya itu. Seperti sayalah dengan zakat, banyak orang bilang zakat itu kan kecil dan susah, tapi saya yakin seyakin-yakinny­a hingga akhirnya seperti sekarang. Demikian pula dengan ekonomi syariah sekarang bank syariah itu kan baru 3 koma sekian persen dibandingkan bank konvenional tapi saya yakin akan berhasil.

Dari mana itu bisa dmulai?

Ya dari kecintaan umat pada lembaga itu, kita harus mendorong agar umat berhijrah semuanya, kalau buka account bank itu buka pada bank Syariah, bukan pada bank konvensional, begitu juga menabung dan bertransaksi gunakan bank syariah. Bahwa ada kekurangan betul, tapi kita jangan melihat kekurangannya, tapi lihat ini adalah bagian dari kita, bagian dari ummat. (Rafles Rasyidin)



Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.