Al khusyu- Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan
ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam
surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi, kecuali
siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan iman dan kekuatan
amaliahnya dengan amal shalih serta menyempurnakan kekuatan selainnya dengan
nasihat kepada kebenaran dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting
adalah iman dan amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan
nasihat.
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya,
agar dia mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan dirinya dari
kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan
kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi kemaslahatan hamba di
dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke jalan lurus.
Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna
Al-Fatihah, menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini,
berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang sesat
dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan kepada Allah, kedudukan orang-orang
yang berilmu, perbedaan antara sarana dan tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang
bisa mewakili kedudukan surat
Al-Fatihah ini. Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam
Taurat, Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah.
Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang
tinggi. Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki tiga nama,
yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan rujukan
Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi poros- nya. Surat Al-Fatihah
menjelaskan ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. Iyyaka na'budu merupakan bangunan
di atas Ilahiyah, Iyyaka nasta'in di atas Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk
kepada jalan yang lurus merupakan sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam
Ilahiyah- Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat-
Nya.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan,
pem- balasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam hukum,
yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang semua ini
terkandung dalam maliki yaumiddin.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa
dilihat dari beberapa segi:
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin. Dengan kata
lain, tidak layak bagi Allah untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan
sia-sia dan telantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan mudharat di dunia dan di
akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti
disembah dan dipertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal
sesembahannya kecuali lewat para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah
mencegah-Nya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan kesempurnaan
yang harus mereka cari. Dzat yang diberi asma Ar- Rahman tentu memiliki
tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tanggung
jawab ini lebih besar daripada tanggung jawab untuk menurunkan hujan,
menumbuhkan tanaman dan mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk
menghidupkan hati dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari
di mana Allah akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas keburukan dan
kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa seseorang sebelum ditegakkan
hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyaka na'budu. Beribadah kepada
Allah tidak boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada- Nya,
berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah ini tidak
bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim.
Hidayah adalah keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti
dan keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada bukti
dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan taufik, iman tumbuh
di dalam hati, dicintai dan berpengaruh didalamnya.
Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak bisa
diperoleh kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan
kebe-naran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global. Dari sini
dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan permohonan ini jika dia
dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan kebatilan orang yang berkata,
"Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu untuk apa kita memohon
hidayah?"
Kebenaran yang belum kita ketahui jauh lebih banyak dari
yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita kerjakan karena menganggapnya
remeh atau malas, sebenarnya serupa dengan apa yang kita inginkan atau bahkan
lebih banyak. Sementara kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Siapa yang
menganggap hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidayah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguhan dan berkesinambungan. Memohon
hidayah mencakup permohonan untuk mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan
dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang
lurus. Tapi jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal:
Lurus, menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satu-
satunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu cirinya yang lurus, karena
garis lurus merupakan jarak yang paling dekat di antara dua titik, sehingga ada
jaminan untuk menghantarkan ke tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan
perbedaan mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.
Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka manusia bisa
dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi nikmat, yang mendapat
murka dan yang sesat). Hamba ada yang mengetahui kebenaran dan ada yang tidak
mengetahuinya. Yang mengetahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan
ada yang menentangnya. Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang mengetahui
kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat rahmat, dialah yang
mensucikan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan dialah
yang beruntung.
Orang yang mengetahui kebenaran namun mengikuti hawa
nafsunya, maka dia adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak
mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat murka adalah
orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang tersesat mendapat murka
karena kesesatannya dari ilmu yang harus diketahuinya dan amal yang harus
dikerjakannya. Masing-masing di antara keduanya sesat dan mendapat murka. Tapi
orang yang tidak beramal berdasarkan kebenaran setelah dia mengetahui kebenaran
itu, jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih layak
mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui kebenaran lebih pas
disebut orang yang sesat, dan inilah sifat yang layak diberikan kepada
orang-orang Nashara, sebagaimana firman- Nya,
"Katakanlah, 'Hai
Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara
tidak benar dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus'. "(Al-Maidah: 77).
Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan
penggal kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat At-Tirmidzy
dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Orang-orang Yahudi adalah
orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah orang-orang yang
sesat." Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah.
Sedangkan pelaku
kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia,
sedangkan kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang diberikan kepada
orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu adalah nikmat yang mutlak dan
yang mendatangkan keberuntungan yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak
terbatas diberikan kepa da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap
makhluk ada dalam nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang
pertanyaan, "Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah
tidak?" Nik mat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan
ketidakterbatasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir.
Inilah makna firman-Nya,
"Dan, jika kalian
menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangatzhalim dan sa- ngat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim:
34).
2.. Allahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firman- Nya,
"Dan, apa saja
nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya)." (An-Nahl:
53).
Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga murka
kepada musuh-musuh Allah.
3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan
orang yang mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang yang mendapat
nikmat.
Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan
balasan bagi tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat
kepada mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfaat dan amal
yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping kesempurnaan nikmat
pahala. Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua perkara ini.
Penyebutan murka
Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga mencakup dua perkara:
- Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada
siksa dan pelecehan. Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.
Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada ke jahatan dan
kesesatan yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak
diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orang- orang yang
sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap mereka. Dengan kata
lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai konsekuensi dari
kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan
murka dan kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan yang
sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang mendapat petunjuk
dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman Allah,
"Dan, barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit".(Thaha: 124).
-Yang kedua seperti firman Allah,
"Mereka itulah yang
tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah orang-orang yang
beruntung." (Al-Baqarah: 5).
Di Nukil dari kitab: Madarijus
Salikin
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Posting Komentar