Al khusyu- Allah menyebutkan
Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan diketahui secara jelas, karena
ada lam ta'rif dan karena ada keterang-an tambahan, yang menunjukkan kejelasan
dan kekhususannya, yang berarti jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan
orang-orang yang mendapat murka dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya,
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari
jalan-Nya." (Al-An'am: 153).
Allah menunggalkan lafazh
ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan lafazh as-subula, sehingga jelas
perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini
adalah jalan Allah'. Kemudian be-liau menorehkan beberapa garis lain di kiri
kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang lain. Pada
masing-masing jalan ini ada syetan yang mengajak kepadanya'. Kemudian beliau
membaca ayat, 'Dan bahwa...'."
Pasalnya, jalan yang
menghantarkan kepada Allah hanya ada satu, yaitu jalan yang karenanya Allah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai
kepada Allah kecuali lewat jalan ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam
jalan dan membuka ber- bagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan
pintu. itu terkunci.
Ash-Shirathul-mustaqim adalah
jalan Allah. Sebagaimana yang per- nah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa
ash-shirath itu ada pada Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang
demikian ini dise- butkan di dua tempat dalam Al-Qur'an:
͉ "Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus." (Hud:
56).
"Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki,
yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban
ataspe- nanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak
dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang
menyuruh berbuat keadilan, dan dia beradapula di atas jalan yang lurus?" (An-Nahl: 76).
Inilah perumpamaan yang
diberikan Allah terhadap para berhala yang tidak dapat mendengar, tidak dapat
berbicara dan tidak berakal, yang justru menjadi beban bagi penyembahnya.
Berhala membutuhkan penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan
meletakkannya di tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin
mereka mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan dan
tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada di atas
ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya? Perkataan Allah
benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya penuh hikmah, rahmat,
bermaslahat dan adil.
Inilah pendapat yang paling
benar tentang hal ini, dan sayangnya jarang disebutkan para mufassir atau pun
ulama lainnya. Biasanya mereka lebih mem-prioritaskan pendapat pribadi, baru
kemudian menyebutkan dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara
Al-Kalby berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang
lurus."
Kami katakan, petunjuk-Nya
kepada jalan yang lurus merupakan keharusan keberadaan Allah di atas
ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan
Dia berada di atas ash-shirathul- mustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya.
Jadi pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan
bahwa Dia berada di atas ash-shirathul-mustaqim.
Jika ada yang mengatakan,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam menyuruh kepada keadilan",
berarti beliau berada di atas ash-shirathul- mustaqim. Hal ini dapat kami
tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang sebenarnya dan tidak bertentangan
dengan pendapat di atas. Allah berada di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu
pula Rasul-Nya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut
ketentuan dari Allah. Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk
meng- gambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang tidak
mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan kebaikan. Sedangkan
pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah Shal-
lallahu Alaihi wa Sallam
menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau berada di atas
ash-shirathul-mustaqim.
Karena orang yang mencari
ash-shirathul-mustaqim masih mencari sesuatu yang lain, maka banyak orang yang
justru menyimpang dari jalan lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam
keadaan takut jika sendiri-an dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah
juga mengingat-kan tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang
yang layak dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan
shalihin. Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan
begitu rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitarnya karena dia sendirian
saat meniti jalan, menjadi sirna.
Dia tidak risau karena harus berbeda dengan
orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah golongan
minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan golongan mayoritas dari
segi kuantitas, seperti yang dikatakan se-bagian salaf, "Ikutilah jalan
kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang- orang yang mengikuti jalan
ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu karena banyaknya orang-orang
yang mengikutinya." Jika engkau meniti jalan kebenaran, teguhkan hatimu
dan tegarkan langkah kakimu, jangan menoleh ke arah mereka sekalipun mereka
memanggil-manggilmu, karena jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan
menghambat perjalananmu.
Karena memohon petunjuk jalan
yang lurus merupakan permo- honan yang paling tinggi nilainya, maka Allah
mengajarkan kepada hamba- hamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan
memerintahkan agar mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan
kepada-Nya, kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada dua macam
tawassul dalam doa:
1. Tawassul dengan asma' dan
sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
2. Tawassul dengan beribadah dan
mengesakan-Nya.
Surat Al-Fatihah juga
memadukan dua tawassul ini. Setelah dua ta- wassul ini digunakan, bisa disusul
dengan permohonan yang paling pen- ting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa
dengan cara ini, maka doanya layak dikabulkan.
Di Nukil dari kitab: Madarijus Salikin
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Posting Komentar