Alkhusyu - Sebagai pengasuh pondok
pesantren Ibnu Cholil di Bangkalan-Madura, sekaligus keturunan langsung ulama
kharismatik Syaikhona KH. Muhammad Cholil, dari itulah KH. Imam Buchori Cholil,
SH merupakan sosok menarik untuk dimintai penjelasan perihal shalat khusyu’.
Kyai yang ramah ini menegaskan urgensi kekhusyukan yang berkorelasi erat dengan
pahala shalat. Intinya, kita harus mencapai khusyu’ agar shalat bukan sekedar
pelepas kewajiban yang tidak mempunyai nilai di mata Allah. Bahkan ia dapat
membuka tabir hikmah, mengapa khusyu’ belum menjadi mata pelajaran atau bagian
kurikulum dari jenjang pendidikan. Berikut petikan wawancaranya,
Apa pentingnya khusyu’?
Khusyu’ adalah
terciptanya kondisi ketenangan yang ada di pikiran, perasaan hingga seluruh
sel-sel tubuh. Tidak mudah juga mendeskripsikan apa itu khusyu’, karena khusyu’
merupakan pengalaman spiritual yang dirasakan mukmin. Khusyu’ sangat mungkin
dicapai bagi orang-orang yang ingin dan mau. Sangat mungkin karena khusyu’ itu
perintah Allah, tidak mungkin sesuatu yang disuruh Allah itu tidak ada. Khusyu’
itu juga keniscayaan yang “harus” dimiliki orang yang shalat. Kata harus tadi
berada dalam tanda petik karena soal hukum khusyu’ terdapat perbedaan ulama.
Apa hukumnya?
Hukum khusyu’
menjadi “harus” karena menurut Imam Ghazali orang yang tidak khusyu’ dalam
shalat, gugur kewajiban melaksanakan shalatnya tetapi amalannya itu tidak
berpahala dan tidak pula berdosa. Tidak dapat pahala shalat karena dia tidak
khusyu’. Khusyu’ menjadi syarat untuk mendapatkan pahala shalat. Itulah shalat
yang sebenarnya. Itulah shalat yang dikerjakan para nabi, rasul, dan
sahabat-sahabatnya. Selain itu, hanya shalat khusyu’ pula yang dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar.
Menurut Imam Ghazali,
khusyu’ itu harus mudawamah. Maksudnya khusyu’ haruslah berlangsung dari
awal hingga akhir shalat. Tetapi jika khusyu’ itu terputus, maka pada bagian
shalat yang tidak khusyu’ itu, ia tidak mendapatkan pahala.
Mengapa itu tidak diajarkan?
Sebagaimana
pengalaman saya yang berasal dari pesantren, khusyu’ memang tidak diajarkan
secara tekstual maupun praktikal. Ini yang tidak saya pahami mengapa tidak
diajarkan pesantren. Persepsi santri-santri tentang khusyu’ juga menjadi
berbeda-beda. Kyai-kyai mengajarkan shalat dengan hati yang bersih, niat yang
benar, syarat dan rukun. Tentu saja dibarengi anjuran khusyu’, tapi secara
teori maupun praktik itu belum ada.
Rasul tidak
mengajarkan khusyu’ dalam bentuk kata-kata. Rasul mengatakan, “Shallu kama
roaitumuni ushalli!” artinya, “Shalatlah kalian sebagaimana aku
melaksanakan shalat!” Dengan begitu para sahabat meniru shalat Nabi. Di situ
ada tata cara shalat dan sekaligus khusyu’ dalam shalat. Nabi mengajarkan
shalat secara utuh dan diterima secara utuh pula oleh sahabat-sahabatnya.
Tingkatan
khusyu’ berbeda-beda, karena ini menyangkut pengalaman spiritual. Nabi tidak
memberi aturan yang hitam putih. Islam itu fleksibel. Nabi mengajarkannya
secara global, dan ada ruang bagi ijtihad umatnya.
Dari itulah
tampak uniknya Islam yang sangat universal. Bukan hanya khusyu’ yang diajarkan
secara global, tapi juga hal-hal lain. Para sahabat Nabi dan juga para ulama
berijtihad tentang cara-cara khusyu’ dengan tidak melenceng dari Al-Qur’an dan
hadis sebagai pedoman. Teknis-teknis khusyu’ sudah dijabarkan oleh berbagai
ulama, maka masyarakat yang memilih hendak ikut yang mana.
Bagaimana cara mencapai khusyu’?
Pertama, dengan
menyiapkan hati kita untuk menerima khusyu’ yang diturunkan Allah. Kedua,
hilangkan pikiran apapun yang dapat mengganggu. Khusyu’ tidak dengan teori,
tapi kosongkan diri. Ketiga, setelah itu, khusyu’ akan turun atau tercipta
dengan sendirinya.
Ilmu tentang
khusyu’ itu memang tidak ada, karena khusyu’ itu lepas dari teori. Khusyu’ itu
dicapai seseorang dalam kondisi zero dan dirasakan sendiri oleh yang
bersangkutan.
Saya tidak
klaim shalat saya khusyu’. Ada kalanya khusyu’ dan adakalanya pula tidak
khusyu’. Itu sebuah pengalaman spiritual yang tidak mudawamah pada diri
saya. Adakalanya kondisi khusyu’ itu terputus dari saya, belum seperti
wali-wali Allah yang juga khusyu’ sampai dalam kehidupan sehari-harinya. Tapi
kita usahakan khusyu’ dengan latihan dan terus mencobanya.
Adakah efek lain dari khusyu’?
Khusyu’ di luar
shalat menciptakan suasana yang tenang dan damai. Kita tidak merasakan apapun
tentang hidup ini karena pasrah pada Allah. Tidak pusing dengan kondisi
apapun, karena apapun yang terjadi sudah yang terbaik dari Allah. Tolong
sebutkan apa yang tidak diatur oleh Allah? Kenapa kita harus pusing? Dalam
shalat khusyu’ kita mendapat ketenangan hidup. Sampai di tingkat ini, otomatis
akan khusyu’ dengan sendiri di luar shalat. Kita jangan berputus asa dari
rahmat Allah. (Yoli)
Posting Komentar