Alkhusyu - Ada
pertengahan Juni 2012 ini, Shalat Center pusat kedatangan tamu spesial, KH Imam
Buchori Cholil yang merupakan cicit atau keturunan langsung dari ulama besar
Syaikhona KH. Muhammad Cholil Bangkalan, Madura. Kesempatan itu tak
disia-siakan untuk berbagi kisah sang ulama besar yang turut mewarnai jalan
sejarah Indonesia. Berikut penuturan kisah hidupnya,
Sosok
Menarik
Syaikhona
KH. Muhammad Cholil merupakan seorang ulama kharismatik, di mana
santri-santrinya banyak menjadi kyai-kyai besar se-Jawa Madura, seperti KH.
Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Islam Nahdhatul Ulama (NU), KH.
Ma’sum dari Lasem, KH. Syawal Arifin, KH. Wahab Hasbullah dari Jombang dan
lain-lain. Rata-rata santrinya menjadi kyai besar yang disegani sekaligus
pejuang Islam dan pejuang kemerdekaan.
Mbah Cholil,
begitu salah satu panggilan akrabnya, mendirikan pesantren di desa Kademangan,
Bangkalan, Madura sehingga dikenal dengan sebutan pesantren Demangan atau pesantren
Syaikhona Cholil. Sampai sekarang pesantren itu masih berjalan dengan baik
dengan santri mencapai 2.000 orang dari tingkat Madrasah Ibtidaiyyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Tinggi Agama Islam
Syaikhona Cholil.
Syaikhona Cholil memang berasal dari Bangkalan, namun silsilahnya
terhubung ke Sunan Gunung Jati, dan jika dirunut ke atasnya, maka silsilahnya
sampai kepada Rasulullah. Dari silsilahnya dengan Rasul itu, Mbah Cholil adalah
generasi yang ke 23.
Sejak muda,
Mbah Cholil sudah menunjukkan karamahnya. Sewaktu nyantri di Bangil,
Sang Kyai menugasi Cholil muda untuk membeli gula aren ke Bangkalan karena ada
acara besar di pesantren. Anehnya, tiga hari menjelang acara Cholil muda belum
juga pulang ke kampungnya.
Sehingga
Kyai pun memanggil, “Kok belum berangkat juga ke Bangkalan?”
Cholil
menjawab, “Kyai, gula arennya sudah ada!”
Kyai penasaran dan menyuruh santri-santri menggeledah kamar Cholil.
Mereka bukan saja menemukan gula aren dalam jumlah banyak tapi juga mendapati
keajaiban. Berapa pun gula aren diambil dari kamar Cholil, gula itu tidak
pernah habis meski dapur sudah disesaki gula aren.
Pada
kesempatan lain, Cholil mondok di pesantren Langitan. Di hari pertamanya
mondok sebagai santri, saat shalat berjamaah dia tertawa keras sekali sehingga
menimbulkan kegusaran orang ramai.
Kyai
bertanya, “Kenapa kamu tertawa?”
Cholil muda
menjawab, “Tidak sengaja. Saya tertawa karena melihat di atas kepala Kyai ada
nampan berisikan ikan dan nasi.”
Jawaban itu
tidak membuat kyai marah. Dia malah berkata, “Kamu bukan anak sembarangan. Kamu
tahu saya shalat sambil membayangkan nasi dan ikan yang akan saya santap.”
Berikutnya
Cholil mondok di sebuah pesantren di Banyuwangi. Anehnya, kyai malah menugasi
Cholil memanjat kelapa yang buahnya dijual. Dari tugasnya itu Cholil
mendapatkan upah berupa uang yang disimpannya di dalam peti. Kemudian hari kyai
menugasinya belajar atau ngaji ke Mekah. Upah memanjat kelapa yang ditabungnya
itu yang menjadi ongkosnya menimba ilmu di tanah suci.
Pulang
Mengabdi
Lima tahun
lamanya Cholil menimba ilmu agama di Mekah. Tanah haram di Mekah itu memiliki
batas suci dan uniknya, Cholil tidak pernah buang hajat di dalam batas tanah
suci tersebut. Dia buang hajat selalu di luar garis batas suci itu. Begitu
caranya menghormati tanah suci. Setelah dianggap cukup menimba ilmu, Syekh
tempat Cholil berguru di Mekah menyuruhnya pulang dan mendirikan pesantren di
kampung halaman.
Mbah Cholil
berhasil menyebarkan Islam dan mendirikan pesantren. Namanya langsung
termasyhur karena santri-santrinya menjadi ulama dan tokoh besar. Itu tak
terlepas dari keunikannya dalam mendidik murid-murid.
Suatu hari
Mbah Cholil berpesan kepada santri-santrinya, “Sebentar lagi akan datang macan.
Bersiap-siaplah!”
Para santri
yang memahami karamah Syaikhona Cholil langsung bersiaga. Namun sekian lama
menanti tak seekor pun macan yang mendatangi mereka. Justru yang datang seorang
anak muda bernama Wahab Hasbullah dari Jombang yang hendak belajar agama.
Mendapat laporan kedatangan anak itu, Mbah Cholil berkata keras pada para
santrinya, “Itu macannya. Mengapa kalian biarkan masuk!”
Kemudian
hari para santri menjadi paham maksud perkataan Syaikhona Cholil, KH. Wahab
Hasbullah terkenal sebagai macannya Nahdhatul Ulama (NU). KH. Hasyim Asy’ari
memang pendiri NU, tapi KH. Wahab secara teknis organisasi yang menjadi tulang
penyangga.
Syaikhona
Cholil mahir mengajarkan kitab Matan Alfiah karya Ibnu Malik sehingga menjadi
pelajaran yang disukai murid-muridnya. Semasa muda sewaktu belajar di Mekah,
Syaikhona Cholil menulis dengan tangannya kitab Matan Alfiah, lalu dijual.
Itulah yang menjadi penopang biaya hidupnya selama belajar di tanah suci. Kitab
itu sesungguhnya berisikan ilmu Nahwu/bahasa Arab. Uniknya, persoalan atau
kesulitan apapun yang dialami para santri dapat dijawab Mbah Cholil
berdasarkan Matan Alfiah.
Ada kejadian menarik, suatu ketika ada orang yang minta barokah karena
rumahnya sering dimasuki maling. Mbah Cholil menulis dalam bahasa Arab qoma
zaidun yang dalam bahasa Indonesia artinya Si Zaid berdiri. Kalimat qoma
Zaidun adalah suatu model yang biasa dijadikan contoh dalam belajar
mengajar bahasa Arab. Namun Mbah Cholil menyuruh tulisan qoma Zaidun itu
dipaku di pintu rumah.
Esok
harinya, orang itu kaget melihat seseorang yang terus berdiri di depan pintu
rumahnya. Orang itu minta maaf karena semalam berniat mencuri tetapi malah tak
bisa pergi. Dia hanya dapat angkat kaki apabila dimaafkan oleh si empunya
rumah.
Ketika muridnya KH. Hasyim Asy’ari hendak mendirikan organisasi
Nahdhatul Ulama (NU), Syaikhona Cholil
mengutus seseorang untuk mengantarkan tongkat dan tasbih. Selama perjalanan,
utusan Syaikhona Cholil itu terus membaca Ya Jabbar! Lalu tongkat dan
tasbih tersebut diserahkan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Tongkat itu menjadi
simbol perjuangan NU. Pada masa perjuangan, NU itu ibarat tongkat Nabi Musa.
Untuk melawan kezaliman maka ia dapat berubah menjadi ular yang besar. Itu
dibuktikan semasa melawan penjajah, kyai-kyai dan anggota NU tampil bersama
mengobarkan semangat jihad. Sementara di masa damai, tongkat itu dipergunakan
untuk urusan sosial kemasyarakatan.
Dia mendidik
santri-santrinya untuk melawan kezaliman penjajah. Itu membuat Belanda berang
lantas menangkapnya, lalu dijebloskan ke penjara. Ketika itu santri Syaikhona
Cholil belumlah banyak, sehingga pendukungnya tak dapat membela secara
maksimal. Berikutnya terjadi hal yang aneh, seluruh sipir penjara sakit perut.
Mereka berak-berak dan tak kunjung sembuh. Akhirnya mereka minta maaf kepada
Syaikhona Cholil, lantas melepaskannya dari terali besi. Itu dilakukan daripada
celaka terkena karomahnya.
Saat ini, di
Bangkalan, Madura ada sekitar 10 buah pesantren yang semua nya dimiliki
keluarga Mbah Cholil. Di luar daerah itu juga ada keturunan Syaikhona Cholil
yang mendirikan pesantren, seperti di Pamekasan, Jember dan lainnya. Kalau kita
berjalan sampai ke pelosok-pelosok Madura, akan ditemukan sekitar 100 masjid
yang dibangun atau dibina oleh Syaikhona Cholil. Orang semakin kagum karena
tiap mendirikan masjid ia mampu menunjukkan arah kiblat, seolah ia dapat
langsung melihat Ka’bah. Akhirnya, Syaikhona Cholil wafat 29 Ramadhan 1925, ia
meninggalkan murid-murid tangguh yang mewarnai sejarah Indonesia. (Yoli)
Posting Komentar